Perang Di Kurukshetra
Bagi yang menyukai Mahabrata.. silakan Bacca!!
sebelum mengetahui bukti sejarah baca dulu asal ceritanya.!
Perang di Kurukshetra (Dewanagari: कुरुक्षेत्रयुद्ध; ,IAST:
Kurukshetrayuddha, कुरुक्षेत्रयुद्ध), yang merupakan bagian penting dari
wiracarita Mahabharata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara
lima putra Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra (Korawa).
Dataran Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa
dikunjungi dan disaksikan sampai sekarang. Kurukshetra terletak di
negara bagian Haryana, India.
Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya,
sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada “Era Mitologi”. Beberapa
peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga
sebagai bukti arkeologinya. Menurut kitab Bhagawadgita, perang di
Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang
lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang terkenal.
Meskipun pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga
dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan
India pada masa lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan
jutaan tentara dari kedua belah pihak gugur. Perang tersebut
mengakibatkan banyaknya wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak
yang menjadi anak yatim. Perang ini juga mengakibatkan krisis di daratan
India dan merupakan gerbang menuju zaman Kaliyuga, zaman kehancuran
menurut kepercayaan Hindu.
Latar Belakang
Perang di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahābhārata, sebuah
wiracarita tentang pertikaian Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya.
Perebutan kekuasaan yang merupakan penyebab perang ini, terjadi karena
para putra Dretarastra tidak mau menyerahkan tahta kerajaan Kuru kepada
saudara mereka yang lebih tua, yaitu Yudistira, salah satu lima putra
Pandu alias Pandawa. Nama Kurukshetra yang menjadi lokasi pertempuran
ini bermakna “daratan Kuru”, yang juga disebut Dharmakshetra atau
“daratan keadilan”. Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena
merupakan tanah yang dianggap suci oleh umat Hindu. Dosa-dosa apa pun
yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian daerah ini.
Dalam kitab Mahabharata disebutkan bahwa pangeran Dretarastra yang
buta sejak lahir terpaksa menyerahkan takhta kerajaan Kuru dengan pusat
pemerintahan di Hastinapura kepada adiknya, Pandu, meskipun dia
merupakan putra sulung. Pandu berputra lima orang, yang dikenal dengan
sebutan Pandawa, dengan Yudistira sebagai putra sulung. Setelah Pandu
wafat, Dretarastra menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan
sementara sampai kelak putra sulung Pandu dewasa.Kelima putra Pandu
(Pandawa) dan seratus putra Dretarastra (Korawa) tinggal bersama di
istana Hastinapura dan dididik oleh guru yang sama, bernama Drona dan
Krepa. Disamping itu, mereka dibimbing oleh seorang bijak bernama Bisma,
kakek mereka. Oleh guru dan kakeknya, Yudistira dianggap pantas
meneruskan takhta Kerajaan Kuru, sebab ia berkepribadian baik. Disamping
itu, Yudistira merupakan pangeran yang tertua di antara
saudara-saudaranya.
Para Korawa, khususnya Duryodana, berambisi menguasai takhta Dinasti
Kuru. Namun ambisi tersebut terhalangi sebab Yudistira dipandang lebih
layak menjadi Raja Kuru daripada Duryodana. Untuk mewujudkan ambisinya,
Duryodana berusaha menyingkirkan Yudistira dan para Pandawa dengan
berbagai upaya, termasuk melakukan usaha pembunuhan. Namun kelima putra
Pandu tersebut selalu selamat dari kematian, berkat perlindungan dari
pamannya dan sepupu mereka, yaitu Widura dan Kresna.
Setelah gagal dalam usaha pembunuhan, kemudian Korawa memutuskan
untuk menipu para Pandawa dengan cara mengajak mereka bermain dadu,
dengan syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas
tahun. Permainan dadu yang sudah disetel dengan licik mengakibatkan
Pandawa kalah, sehingga mereka harus meninggalkan kerajaan selama tiga
belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke hutan. Sebelum Pandawa
dibuang, Dretarastra berjanji akan menyerahkan takhta kerajaan Kuru
kepada Yudistira sebab ia merupakan putra mahkota Dinasti Kuru yang
sulung.
Setelah masa pengasingan selama tiga belas tahun berakhir, sesuai
dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya.
Namun Duryodana menolak mentah-mentah untuk menyerahkan kembali
kerajaannya. Meskipun mendapatkan tanggapan seperti itu, Yudistira dan
adik-adiknya masih mampu bersabar. Sebagai seorang pangeran, Pandawa
merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan,
maka mereka meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan
berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa,
bahkan yang seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa
tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Di pihak lain,
Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
Misi Damai Sri Kresna
Sebelum keputusan untuk berperang diumumkan, para Pandawa berusaha
mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para raja di
daratan India Kuno agar mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para
Pandawa jika perang tidak batal dilakukan. Begitu juga yang dilakukan
oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para raja di daratan
India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai.
Kresna pergi ke Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak
Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak usul Kresna dan merasa
dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk menangkap Kresna
sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia biasa. Ia
mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit
Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan
bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci:
Bisma, Drona, dan Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke
Uplaplawya untuk memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa
dicegah lagi. Ia meminta agar para Pandawa menyiapkan tentara dan
memberitahu para sekutu bahwa perang besar akan terjadi.
Persiapan Perang
Kresna tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan
pilihan kepada para Pandawa dan Korawa, bahwa salah satu boleh meminta
pasukan Kresna yang jumlahnya besar sementara yang lain boleh
memanfaatkan tenaganya sebagai seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu,
Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka untuk memilih salah satu dari
dua pilihan tersebut.
Duryodana jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna.
Sedangkan para Pandawa yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta
tenaga Sri Kresna sebagai seorang penasihat dan memintanya agar
bertempur tanpa senjata di medan laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan
permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah
mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua
belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan
diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari berbagai
penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki
tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa
kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi,
Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu dari
Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa
terdiri dari Raja Pragjyotisha, Raja Angga, Raja Kekaya, Raja Sindhu,
kerajaan Kosala, Kerajaan Awanti, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara,
Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.
Pihak Pandawa
Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh aksohini (divisi). Setiap
aksohini dipimpin oleh Raja Drupada dan kedua putranya — Pangeran
Drestadyumna dan Pangeran Srikandi — dari Panchala, Raja Wirata dari
Matsya, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para
pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima
perang pasukan Pandawa. Kitab Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh
kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan
memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka
yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan
Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma
menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia bertarung dengan tulus
ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak
ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang
Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna
menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak
ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan
bahwa kasta Karna lebih rendah daripada kastanya. Bagaimanapun juga,
Duryodana memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima
tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus
Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya —
Dursasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran tersebut
Korawa dibantu oleh Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa
— Jayadrata, serta guru mereka — Krepa. Selain itu, turut pula
Kertawarma dari Wangsa Yadawa, Salya dari Madra, Sudaksina dari
Kamboja, Burisrawa putra Somadatta, Raja Bahlika, Sangkuni dari
Gandhara, Wrehadbala Raja Kosala, Winda dan Anuwinda dari Awanti, dan
masih banyak lagi para ksatria dan raja yang memihak Korawa demi
Hastinapura maupun Dretarastra.
Pihak Netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukmi, selayaknya kakak Kresna,
Baladewa, adalah pihak yang netral dalam peperangan tersebut.
Divisi Pasukan Dan Persenjataan
Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut
dibagi ke dalam aksohini (divisi). Setiap aksohini berjumlah 218.700
prajurit yang terdiri dari :
* 21.870 pasukan berkereta kuda
* 21.870 pasukan penunggang gajah
* 65.610 pasukan penunggang kuda
* 109.350 tentara darat (infantri)
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan Pandawa memiliki 7
divisi, dengan total pasukan 1.530.900 prajurit. Pasukan Korawa
memiliki 11 divisi, dengan total pasukan 2.405.700 prajurit. Total
seluruh pasukan yang terlibat dalam perang adalah 3.936.600 orang.
Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak, sebab divisi
pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan
kerajaan lain diseluruh daratan India.
Senjata yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata
kuno dan primitif, contohya: panah, tombak, pedang, golok, kapak-perang,
gada, dan sebagainya. Para ksatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma,
Karna, Aswatama, Drona, dan Abimanyu, memilih senjata panah karena
sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih senjata gada
untuk bertarung. Meskipun demikian, tidak selamanya ksatria tersebut
hanya menggunakan satu jenis senjata saja. Kadangkala, Bima menggunakan
panah, sedangkan Abimanyu menggunakan pedang.
Formasi Militer
Formasi militer adalah hal yang penting untuk mencapai kemenangan
dalam peperangan. Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga
lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi militer yang disebutkan
dalam Mahabharata, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Beberapa macam formasi militer tersebut sebagai berikut:
* Krauncabyuha (formasi bangau)
* Cakrabyuha (formasi cakram/melingkar)
* Kurmabyuha (formasi kura-kura)
* Makarabyuha (formasi buaya)
* Trisulabyuha (formasi trisula)
* Sarpabyuha (formasi ular)
* Kamalabyuha atau Padmabyuha (formasi teratai)
Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi
tersebut. Nama formasi mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan
memilih suatu bentuk tertentu (seperti elang, bangau, dll.) sebagai
formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka
mirip dengan suatu hewan/hal tertentu.
Aturan Perang
Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat
“peraturan tentang perlakuan yang etis” (Dharmayuddha) sebagai aturan
perang. Peraturan tersebut sebagai berikut:
* Pertempuran harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam.
* Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
* Dua kesatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki
senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau
kereta).
* Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
* Seseorang yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak.
* Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
* Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
* Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
* Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
* Tidak boleh menyerang wanita.
* Tidak boleh menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
* Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti.
Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke bawah pada saat
bertarung menggunakan gada.
* Bagaimanapun juga, para kesatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Meskipun aturan perang telah disepakati, banyak prajurit dan kesatria
dari kedua belah pihak yang melanggarnya, dan tidak jarang mereka
melakukannya.
Jalannya Pertempuran
Pertempuran berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada
saat matahari muncul dan harus segera diakhiri pada saat matahari
terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran Kurukshetra dan setiap
hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam
setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang
tidak terbunuh dan berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang
karena pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju kematian. Siapa
yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya, dialah
pemenangnya.
Beberapa Saat Sebelum Perang
Pada hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya,
pasukan para Korawa berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para
Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan Korawa membentuk formasi
seperti burung elang: pasukan penunggang gajah sebagai tubuhnya; pasukan
para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan pasukan
penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang, Bisma
berkonsultasi dengan panglima Drona, Bahlika dan Krepa.
Pasukan Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar membentuk
“formasi Bajra”. Karena pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan
Korawa, maka strategi berperang dibuat agar memungkinkan pasukan yang
kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi Pandawa,
pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan
garis depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak
pendek seperti: gada, pedang, kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri
dari sebelas divisi di bawah perintah Bisma. Sepuluh divisi pasukan
Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas
masih berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi
melindunginya dari serangan langsung karena Bisma sangat berguna dan
merupakan harapan untuk menang.
Setelah sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan
kedua belah pihak berbaris rapi. Duryodana optimis melihat pasukan
Korawa memiliki para kesatria tangguh yang setara dengan Bima dan
Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan mereka seperti
Yuyudana (Satyaki), Wirata, dan Drupada yang ia anggap sebagai batu
rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia juga optimis
karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma,
Karna, Kertawarma, Wikarna, Burisrawa, dan Krepa, ada di pihaknya.
Selain itu Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat
perkasa juga turut berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur
bagi musuh-musuhnya. Bisma, dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria
dari kedua belah pihak meniup “sangkala” (terompet kerang) mereka tanda
pertempuran akan segera dimulai.
Ketika terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah
berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk bertempur, Arjuna menyuruh Kresna,
guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar mengemudikan keretanya
menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa melihat, siapa yang
siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda
perasaan takut akan kemusnahan wangsa Bharata, keturunan Kuru, nenek
moyangnya. Arjuna juga dilanda kebimbangan akan melanjutkan pertarungan
atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-sama dengan gurunya,
paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa kecil,
semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan
saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran
agama, mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada
Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama. Kresna, yang
memilih menjadi kusir kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar
ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria, agar dapat
membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian
dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang
bernama Bhagawadgita. Dalam Bhagawadgita, Kresna menyuruh Arjuna untuk
tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang
berada di jalur yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna
adalah membunuh siapa saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan
kejahatan. Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada
Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan
dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna
bahwa sebagian besar para ksatria perkasa dikedua belah pihak telah
dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa orang saja, maka
tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.
Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira melakukan sesuatu yang
mengejutkan. Tiba-tiba ia meletakkan senjata, melepaskan baju zirah,
turun dari kereta dan berjalan ke arah pasukan Korawa dengan mencakupkan
tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan para Korawa tidak percaya
dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah
menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak
menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah Bisma dan memohon
berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa,
memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki keretanya
dan pertempuran siap untuk dimulai.
Hari Pertama
Setelah isyarat penyerangan diumumkan, kedua belah pihak maju dengan
senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling
bantai. Bisma maju menyerang tentara Pandawa dan membinasakan apapun
yang menghalangi jalannya. Abimanyu putra Arjuna melihat hal tersebut
dan menyuruh para pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba
menyerang Bisma dan para pengawalnya, namun usaha para kesatria Pandawa
tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.
Putra Raja Wirata – Utara – maju menghadapi Salya Raja Madra. Utara
yang menaiki gajah perang, mencoba melumpuhkan kereta perang Salya.
Setelah keretanya lumpuh, Salya meluncurkan senjata lembingnya ke arah
Utara. Senjata tersebut menembus baju zirah Utara. Kemudian, Salya
menyerang gajah tunggangan Utara dengan panah-panahnya. Utara dan
gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur, Sweta mengamuk. Dengan
nafsu membunuh, ia mengejar Salya. Para kesatria Korawa yang menyadari
hal itu segera melindungi Salya, namun tidak ada yang mampu mengatasi
kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma turun tangan. Dengan senjata khusus, ia
memanah Sweta sehingga kesatria tersebut gugur seketika.
Ketidakmampuan Pandawa melawan Bisma, serta kematian Utara dan Sweta
di hari pertama, membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna
berkata bahwa kemenangan sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Hari kedua
Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang
didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan
membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan
melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan
Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak
saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna.
Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam
duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi
dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang melihat keadaan tersebut
menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya. Duryodana mengirim
pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun
serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua.
Satyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai
meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga.
Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Hari ketiga
Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa
membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima
berada di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi barisan
belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu
para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit
dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan
Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna. Kemudian kereta
Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak. Dengan kemahirannya yang
hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah yang tak terhitung
jumlahnya.
Abimanyu dan Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan
tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang
Duryodana yang berada di barisan belakang. Panah Bima melesat menuju
Duryodana yang menukik di atas keretanya. Kusir keretanya segera
membawanya menjauhi pertempuran. Tentara Duryodana melihat pemimpinnya
menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut lalu menyuruh agar
pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi, kemudian Duryodana
datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah kepada Bisma
karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian sadar
dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa.
Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali
lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih
merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat
marah dengan keadaan itu dan berkata, “Aku sudah tak bisa bersabar lagi,
Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri,” lalu ia mengambil
sejata cakranya dan berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya
dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Kemudian mereka berdua
melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.
Hari keempat
Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya.
Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung
oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu
menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu
menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan
pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah
menuju ke arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu
persatu dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah
pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para kesatria Korawa dan
membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di
keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah
kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu
melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur.
Pada hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan
saudara-saudaranya.
Saat pertempuran di hari itu berakhir, Duryodana yang diliputi duka
dan kekecewaan datang menemui Bisma untuk menanyakan penyebab Pandawa
mampu bertahan dan mengalahkan kekuatan pasukan Korawa yang konon amat
dahsyat. Bisma menjawab bahwa Pandawa bertindak di bawah panji
kebenaran, sehingga lebih baik mengadakan perjanjian damai dengan
mereka. Namun Duryodana yang keras kepala tidak mau menuruti nasihat
tersebut.
Hari kelima
Pada hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan
segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan
bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Satyaki berhadapan
dengan Drona dan kesulitan untuk membalas serangannya. Bima pergi
meninggalkan Srikandi yang menyerang Bisma. Karena Srikandi berperan
sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung dan pergi.
Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk
menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki
melawan Burisrawa dan kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam
situasi genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Satyaki dan
menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh
ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
Hari keenam
Yudistira menyuruh Drestadyumna agar membentuk formasi Makara, dengan
Drupada dan Arjuna sebagai pemimpin garis depan. Untuk menandingi
kekuatan Yudistira, Bisma menginstruksikan agar pasukan Korawa membentuk
formasi burung bangau, dengan Balhika dan angkatan perangnya sebagai
pemimpin garis depan.
Bima bertarung melawan Drona dengan sengit. Bima memanah kusir kereta
Drona sehingga tewas seketika. Drona mengambil alih kedudukan kusirnya,
lalu menghancurkan sebagian besar pasukan Pandawa. Serangan Drona
dihadapi oleh Drestadyumna. Sementara itu, Bima melancarkan serangan ke
garis pertahanan yang terdiri dari putra-putra Dretarastra, yaitu:
Dursasana, Durwisaha, Dursaha, Durmada, Jaya, Jayasena, Wikarna,
Citrasena, Sudarsana, Carucitra, Duskarna, Karna (Karna adik Duryodana,
bukan Karna sahabat Duryodana). Mereka semua mengepung Bima dari segala
penjuru. Bima meloncat turun dari keretanya sambil membawa gada. Di
tengah pasukan musuh, Bima mengamuk sehingga pasukan Korawa kacau-balau.
Melihat Bima dalam bahaya, Drestadyumna segera meninggalkan Drona
dengan maksud membantu Bima. Dengan bantuan Drestadyumna, Bima
menghancurkan pasukan Korawa dengan lebih mudah.
Setelah menyaksikan Bima dalam bahaya, Yudistira mengirim Abimanyu
untuk membantu pamannya tersebut. Abimanyu melawan para putra
Dretarastra, sementara Duryodana dihadapi oleh lima putra Dropadi, yaitu
Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, dan Srutakirti. Menjelang
sore hari, Bisma masih mengamuk menghancurkan pasukan Pandawa. Akhirnya,
matahari terbenam dan seluruh pasukan ditarik mundur pada malam hari
itu.
Hari ketujuh
Pada hari ketujuh, pasukan Korawa di bawah instruksi Bisma membentuk
formasi Mandala. Untuk mengantisipasinya, Yudistira menginstruksikan
agar pasukan Pandawa membentuk formasi Bajra. Arjuna berhasil merusak
formasi Mandala, sehingga Bisma maju untuk menghadapinya. Sementara itu,
Drona bertarung menghadapi Wirata Raja Matsya. Dengan serangan
panahnya, Drona membuat kereta perang Wirata lumpuh. Kemudian Wirata
meloncat dari keretanya untuk berpindah ke kereta Sangka, putranya.
Meskipun Wirata dan Sangka sudah menggabungkan kekuatan, namun Drona
masih tak terkalahkan. Sebaliknya, Drona berhasil menembakkan empat
batang panah penembus baju zirah ke arah Sangka. Panah tersebut
bersarang di dada Sangka, kemudian merenggut nyawanya.
Sementara itu, Satyaki bertarung menghadapi raksasa Alambusa,
sedangkan Drestadyumna menghadapi Duryodana. Satyaki berhasil
mengalahkan raksasa Alambusa, sementara Drestadyumna berhasil melukai
tubuh Duryodana dengan tujuh anak panah. Kemudian panah-panah menembus
tubuh kuda dan kusir kereta Duryodana sehingga kendaraan tersebut
lumpuh. Duryodana meloncat dari keretanya lalu diselamatkan oleh
pamannya, Sangkuni dari Gandhara. Di tempat lain, Srikandi maju
menghadapi Bisma. Bisma tidak menghiraukan Srikandi karena kesatria
tersebut bersifat kewanitaan, sehingga ia lebih memilih menghancurkan
pasukan Srinjaya, sekutu Pandawa.
Pada hari tersebut, para kesatria Korawa lebih banyak menderita
kekalahan dibandingkan pihak Pandawa. Hal tersebut membuat Dretarastra,
ayah para Korawa merasa sedih. Sanjaya, penasihat Dretarastra mengatakan
bahwa ia tidak perlu bersedih sebab kehancuran putra-putranya
disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Sanjaya menambahkan, bahwa
kematian para kesatria yang gugur di medan perang akan membuka jalan
surga bagi mereka.
Hari kedelapan
Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra, yaitu:
Sunaba, Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka
dan Wisalaksa. Sunaba, Adityaketu, Aparajita dan Wisalaksa gugur dengan
kepala terpenggal, sedangkan yang lainnya gugur karena senjata panah
yang diluncurkan Bima. Setelah menyaksikan kematian mereka, Duryodana
memerintahkan para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima.
Namun tak satu pun putra Dretarastra yang berani maju menghadapi Bima
setelah mereka menyaksikan kematian delapan saudaranya.
Sementara itu, Sangkuni putra Subala, dengan didampingi oleh putra
Hredika dari kerajaan Satwata, menyerbu pasukan Pandawa. Pasukan
penyerbu tersebut merupakan kavaleri gabungan dari berbagai kerajaan di
India, seperti Kamboja, Sindhu, Mahi, Aratta, dll. Untuk menandinginya,
Irawan putra Arjuna maju ke medan laga sambil membawa pasukan berkuda
dalam jumlah besar. Dengan pedang dan panah, Irawan berhasil membunuh
para saudara Sangkuni, kecuali Wresaba.
Setelah pasukan putra Subala kacau balau, Duryodana mengirim raksasa
Alambusa untuk membunuh Irawan. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit
antara Irawan melawan Alambusa. Keduanya sama-sama menggunakan kekuatan
sihir, sama-sama sakti dan saling menghancurkan. Saat Irawan memunculkan
seekor naga raksasa, Alambusa menanggapinya dengan menjelma menjadi
seekor burung garuda raksasa. Burung siluman tersebut berhasil membunuh
naga siluman yang dipanggil Irawan. Hal itu membuat Irawan terpaku
menyaksikan kekalahannya. Pada saat itu juga, Alambusa memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk memenggal leher Irawan.
Hari kesembilan
Pada hari kesembilan, Abimanyu putra Arjuna menghancurkan laskar
Korawa sambil mengamuk. Para kesatria terkemuka di pihak Korawa tidak
mampu menghadapinya, karena seolah-olah Abimanyu merupakan Arjuna yang
kedua. Melihat prajuritnya tercerai-berai, Duryodana memutuskan untuk
mengirim raksasa Alambusa, putra Resyasringga. Raksasa tersebut menuruti
perintah Duryodana. Ribuan prajurit Pandawa mati di tangannya, sehingga
lima putra Dropadi bertindak. Mereka mencoba menahan serangan raksasa
tersebut, namun tidak berhasil. Sebaliknya, justru nyawa mereka yang
terancam. Setelah melihat para saudara tirinya sedang terancam, Abimanyu
segera datang membantu mereka sekaligus menghadapi raksasa Alambusa.
Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Abimanyu melawan
raksasa Alambusa. Dengan kemahirannya menggunakan senjata panah,
Abimanyu berhasil mengalahkan Alambusa sehingga raksasa tersebut turun
dari keretanya sambil melarikan diri karena kesakitan.
Setelah Alambusa mengalami kekalahan, Bisma segera menghadapi
Abimanyu. Dengan dikawal oleh para kesatria tangguh dari pihak Korawa,
Bisma maju menerjang Abimanyu. Pada saat itu juga, Arjuna datang
membantu Abimanyu. Kemudian Krepa menyerang Arjuna sehingga terjadilah
pertarungan sengit di antara mereka. melihat keadaan tersebut, Satyaki
datang membantu Arjuna. Aswatama putra Drona, datang membantu Krepa
dengan meluncurkan panah-panahnya. Namun ternyata Satyaki mampu
bertahan, bahkan membalas serangan Aswatama secara bertubi-tubi. Setelah
Aswatama lelah menghadapinya, Drona muncul untuk membantu putranya
tersebut. Sedangkan dari pihak Pandawa, Arjuna maju membantu Satyaki.
Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Arjuna melawan
Drona. Meskipun demikian, baik Arjuna maupun Drona mampu bertahan hidup
sebab mereka sama-sama sakti.
Kemudian, Kresna mengingatkan Arjuna untuk segera membunuh Bisma.
Maka dari itu, Arjuna segera memerintahkan Kresna untuk menjalankan
keretanya menuju Bisma. Saat menghadapi Bisma, Arjuna masih segan untuk
mengerahkan seluruh kemampuannya, sehingga pertarungan terlihat tidak
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Melihat keadaan itu, Kresna menjadi
marah. Ia turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan
membunuh Bisma. Bisma tidak mengelak saat melihat tindakan Kresna.
Sebaliknya, ia ikhlas apabila nyawanya melayang di tangan Kresna.
Menanggapi hal tersebut, Arjuna segera meloncat dari keretanya, lalu
memeluk kaki Kresna untuk menghentikan gerakan Kresna. Sekali lagi,
Arjuna memohon agar Kresna meredam amarahnya. Kresna hanya diam setelah
mendengar permohonan Arjuna. Kemudian mereka kembali menaiki kereta
untuk melanjutkan peperangan.
Hari kesepuluh
Pada hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan
Bisma menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan
Srikandi di depan kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan
menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng
Arjuna sebab ia merupakan seorang wanita yang berganti kelamin menjadi
pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi. Disamping
itu, Srikandi merupakan reinkarnasi Amba, wanita yang mati karena
perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir kembali
sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.
Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak menghiraukan serangannya.
Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi
merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju takdir
kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi,
maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang
tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena
tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk
mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya.
Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap
di dagingnya.
Bisma terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah
karena ditopang oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya. Setelah
Bisma jatuh, pasukan Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya
sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan
tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma
meminta dibawakan air. Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah,
lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma. Meskipun tubuhnya
ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia
diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam
keadaan seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang
melakukan peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup
selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.
Hari kesebelas
Setelah kekalahan Bisma pada hari kesepuluh, Karna memasuki medan
laga dan melegakan hati Duryodana. Ia mengangkat Drona sebagai panglima
tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap
Yudistira hidup-hidup. Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat
para Pandawa semakin marah, sedangkan dengan adanya Yudistira para
Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona membantu Karna dan Duryodana
untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira hingga patah.
Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang. Melihat
hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan
menggagalkan rencana Duryodana.
Hari kedua belas
Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk
menaklukkan Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja
Trigarta — Susarma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka
berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau
sebaliknya, gugur di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari
kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil
sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin
bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
Hari ketiga belas
Duryodana memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha (di zaman sekarang
disebut Assam, sebuah wilayah di India). Bhagadatta merupakan putera
dari Narakasura, raja yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun
sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan gajah yang berukuran sangat besar
sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap sebagai kesatria terkuat
di antara seluruh kesatria penunggang gajah pada zamannya. Bhagadatta
menyerang Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang bernama
Supratika. Pertempuran antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan
sangat sengit.
Saat Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, di tempat lain,
empat Pandawa sulit mematahkan formasi Cakrabyuha yang disusun Drona.
Yudistira melihat hal tersebut dan menyuruh Abimanyu, putera Arjuna,
untuk merusak formasi Cakrabyuha, sebab Yudistira tahu bahwa hanya
Arjuna dan Abimanyu yang bisa mematahkan formasi tersebut. Saat Abimanyu
memasuki formasi tersebut, empat Pandawa melindunginya di belakang.
Namun, keempat Pandawa dihadang Jayadrata sehingga Abimanyu memasuki
formasuki Cakrabyuha tanpa perlindungan. Akhirnya, Abimanyu dikepung
oleh para kesatria Korawa, lalu terbunuh oleh serangan serentak.
Menjelang akhir hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang
sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susarma gugur di tangan Arjuna.
Sementara itu, Abimanyu gugur karena terjebak dalam formasi Cakrabyuha.
Setelah mengetahui kematian putranya, Arjuna marah pada Jayadrata yang
menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi Abimanyu. Ia bersumpah
akan membunuh Jayadrata pada hari keempat belas. Ia juga bersumpah bahwa
jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam, ia akan
membakar dirinya sendiri.
Hari keempat belas
Saat berusaha mencari Jayadrata di medan pertempuran, Arjuna
menghancurkan satu aksauhini (109.350 tentara) prajurit Korawa. Pasukan
Korawa melindungi Jayadrata dengan baik, untuk mencegah Arjuna
menyerangnya. Akhirnya, menjelang sore, Arjuna mendapati bahwa Jayadrata
dikawal oleh Karna dan lima kesatria perkasa lainnya. Setelah melihat
keadaan temannya, Kresna mengangkat Sudarsana Cakra-nya untuk menutupi
matahari, menipu seolah-olah matahari terbenam. Seluruh prajurit
menghantikan pertempuran karena merasa bahwa siang hari telah berakhir.
Dengan demikian, Jayadrata tanpa perlindungan. Saat matahari menampakkan
sinar terakhirnya di hari tersebut, Arjuna menembakkan panah dahsyatnya
yang kemudian memenggal kepala Jayadrata.
Pertempuran berlanjut setelah matahari terbenam. Saat bulan tampak
bersinar, Gatotkaca, putra Bima membunuh banyak kesatria, dan menyerang
lewat udara. Karna menghadapinya lalu mereka bertarung dengan sengit,
sampai akhirnya Karna mengeluarkan Indrastra, sebuah senjata surgawi
yang diberikan kepadanya oleh Dewa Indra. Gatotkaca yang menerima
serangan tersebut lalu memperbesar ukuran tubuhnya. Ia gugur seketika
kemudian jatuh menimpa ribuan prajurit Korawa.
Hari kelima belas
Setelah Raja Drupada dan Raja Wirata dibunuh oleh Drona, Bima dan
Drestadyumna bertarung dengannya di hari kelima belas. Karena Drona
amat kuat dan memiliki brahamastra (senjata ilahi) yang tak terkalahkan,
Kresna memberi isyarat pada Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila
Aswatama – putranya – gugur dalam perang tersebut. Kemudian Bima
membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa
Aswatama gugur.
Drona mendekati Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian
putranya. Yudistira berkata “Ashwathama Hatha Kunjara”, namun dua kata
terakhir “Hatha Kunjara” yang menerangkan bahwa seekor gajah telah mati,
tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas
perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira
melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat pelan sehingga
Drona tidak mendengar kata “gajah”). Sebelum peristiwa tersebut, kereta
perang Yudistira, yang disebut Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang
beberapa inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya
menyentuh tanah. Setelah menduga bahwa putranya telah tiada, Drona
merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh
Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan
sumpahnya.
Setelah perang di hari itu berakhir, Kunti (ibu para Pandawa) secara
rahasia pergi menemui Karna, putra yang dibuangnya, dan memintanya untuk
mengampuni nyawa para Pandawa, karena mereka adalah adiknya. Karna
berjanji pada Kunti bahwa ia akan mengampuni nyawa para Pandawa, kecuali
Arjuna.
Hari keenam belas
Pada hari keenam belas, Karna menjadi panglima tertinggi pasukan
Korawa. Ia membunuh banyak prajurit pada hari itu. Sebuah pertempuran
sengit terjadi antara Arjuna melawan Karna. Bahkan Kresna memuji Karna
atas keberaniannya. Akhirnya Karna berhasil memutuskan tali busur
Arjuna. Tepat saat Karna akan membunuh Arjuna, matahari terbenam. Karena
memperhatikan peraturan peperangan, Karna mengampuni nyawa Arjuna.
Ada versi berbeda mengenai akhir hari kedelapan belas. Diceritakan
bahwa Karna bertempur dengan gagah berani meski dikelilingi para jendral
pasukan Pandawa. Mereka semua tidak mampu melawannya. Karna memberi
serangan mematikan pada pasukan Pandawa sehingga mereka melarikan diri.
Kemudian Arjuna berhasil mematahkan senjata Karna dengan senjatanya
sendiri, dan juga memberikan serangan mematikan pada pasukan Korawa. Tak
lama kemudian matahari terbenam, dan karena kegelapan dan debu membuat
pertempuran berlangsung dengan sulit, maka pasukan Korawa ditarik
mundur, dengan tujuan menghindari pertempuran di malam hari.
Hari ketujuh belas
Pada hari ketujuh belas, Karna mengalahkan Bima dan Yudistira dalam
pertempuran, namun nyawa mereka diampuni. Kemudian, Karna melanjutkan
pertarungannya melawan Arjuna. Saat bertarung, roda kereta Karna
terperosok ke dalam lumpur sehingga Karna meminta izin untuk
menghentikan pertarungan sejenak. Melihat kesempatan tersebut, Kresna
mengingatkan Arjuna tentang sikap Karna yang tidak berbelas kasihan pada
Abimanyu saat Abimanyu terbunuh setelah kehilangan senjata dan
keretanya. Terungkitnya kenangan pahit tersebut membuat hati Arjuna
perih kembali. Kemudian, Arjuna menembakkan panahnya untuk memenggal
Karna, pada saat Karna berusaha mengangkat roda keretanya yang terprosok
ke dalam lumpur. Pada hari yang sama, Bima menghancurkan kereta
Dursasana dengan gadanya. Bima menangkap Dursasana lalu membunuhnya,
sehingga terpenuhilah sumpah yang dibuatnya saat Dropadi dipermalukan.
Hari kedelapan belas
Pada hari kedelapan belas, Salya Raja Madra diangkat sebagai panglima
tertinggi pasukan Korawa, menggantikan posisi Karna. Pada hari itu
juga, Yudistira membunuh Raja Salya, Sadewa membunuh Sangkuni, dan Bima
membunuh para adik Duryodana yang masih bertahan. Setelah sadar bahwa ia
telah dikalahkan, Duryodana lari dari medan pertempuran lalu
beristirahat di sebuah danau. Ahirnya para Pandawa berhasil
menangkapnya. Di bawah pengawasan Baladewa, pertandingan gada
berlangsung antara Bima melawan Duryodana, dimana akhirnya Duryodana
mengalami kekalahan.
Aswatama, Krepa, dan Kertawarma bertemu Duryodana pada saat kesatria
tersebut sedang sekarat. Mereka berjanji akan membalaskan dendamnya.
Kemudian pada malam hari, mereka menyerang perkemahan para Pandawa, lalu
membunuh lima putra Pandawa (Pancawala), Drestadyumna dan Srikandi.
Akhir peperangan
Hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka
adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma.
Aswatama ditangkap oleh para Pandawa setelah ia melakukan pembunuhan di
malam hari kedelapan belas, saat sekutu Pandawa sedang tidur. Krepa
kembali ke Hastinapura, sedangkan Kertawarma ke kediaman Wangsa Yadu.
Akhirnya, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah
memerintah selama beberapa lama, Yudistira menyerahkan tahta kepada cucu
Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa dan Dropadi mendaki
gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka. Dropadi dan
empat Pandawa, kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. Akhirnya
Yudistira berhasil mencapai puncak Himalaya, dan dengan ketulusan
hatinya, oleh anugerah Dewa Dharma ia diizinkan masuk surga sebagai
seorang manusia.
Perkiraan kapan terjadinya perang
Para sarjana berusaha mencari tahu pada tahun berapa sebenarnya
perang di Kurukshetra terjadi. Mereka menggunakan catatan dalam
Mahābhārata, memperhitungkan posisi benda langit, menggunakan sistem
kalender, bahkan sampai melakukan analisa radiokarbon. Hasil perhitungan
mereka sebagai berikut :
* Dr. S. Balakrishna menyatakan bahwa perang tersebut terjadi tahun 2559 SM dengan memperhitungkan gerhana bulan.
* Prof. I.N. Iyengar memperkirakan perang tersebut terjadi tahun
1478 SM dengan memperhitungkan gerhana dan garis lurus planet
Saturnus+Jupiter.
* Dr. B.N. Achar menyatakan bahwa perang tersebut terjadi tahun
3067 SM dengan memperhitungkan posisi planet-planet yang dicantumkan
dalam Mahabharata.
* Shri P.V. Holey yakin bahwa perang tersebut terjadi tanggal 13
November tahun 3143 SM dengan memperhitungkan posisi planet dan sistem
kalender.
* Dr. P.V.Vartak mengatakan bahwa perang tersebut terjadi tanggal
16 Oktober tahun 5561 SM dengan memperhitungkan posisi planet.
Beberapa sarjana memperkirakan usia perang di Kurukshetra tidak setua
yang diperkirakan oleh sarjana di atas. John L Brockington
memperkirakan perang tersebut sangat mungkin terjadi 900 SM. Pertempuran
Sepuluh Raja, pertempuran antara Raja Bharata bernama Sudas dan
perserikatan sepuluh suku yang muncul dalam Rgveda, dipercaya sebagai
asal mula mitologi perang di Kurukshetra terjadi. Beberapa arkeolog
India mencoba mencari tahu kapan sebenarnya perang di Kurukshetra
terjadi, seperti penelitian belanga yang ditemukan di Ganges. Penelittian radiokarbon menunjukkan artifak tersebut berasal dari periode 800 – 350 SM.
Fiksi kah Mahabrata?
Saya mencoba mengungkapkan beberapa hal seputar cerita wayang yang bersumber dari
Kitab Mahabharata— sebuah sastra kuno yang konon ditulis oleh
Resi Byasa atau
Vyasa —bukan dari isi ceritanya melainkan dari fakta dan data-data yang cukup mengejutkan.
Isi dari kitab Mahabharata secara singkat menceritakan konflik para
Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka
Korawa yang berjumlah seratus orang mengenai sengketa hak pemerintahan atas negara
Astina. Puncak konflik adalah terjadinya perang Bharata (
Bharatayudha) di medan
Kurusetra yang berlangsung selama 18 hari dan hasilnya adalah kemenangan di pihak Pandawa.
Secara garis besar, cerita Mahabharata yang beredar di sini dengan
cerita aslinya (India) adalah sama. Tetapi tentu saja dengan
'penghalusan' di sana-sini untuk menyesuaikan budaya lokal. Saking
halusnya sampai banyak yang menganggap cerita wayang ini asli dari
nenek moyangnya.
Pada awalnya aku menganggap cerita ini hanya
fiksi tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Namun
lama kelamaan aku berpikir... kalau itu cuma cerita karangan kenapa
jalan ceritanya begitu nyata bahkan masing-masing tokoh punya karakter
yang spesifik dengan silsilah /asal usul yang amat rinci. Hubungan satu
tokoh dengan tokoh lainnya amat jelas layaknya sebuah babakan dalam
sejarah.
Selain itu ada bukti lain tentang penyebutan nama
negara dan tempat (setting) cerita yang terbukti nyata, alias bukan
tempat antah berantah. Cobalah sekali waktu melihat peta
India kuno di mana di sana akan dijumpai nama-nama kerajaan yang sering disinggung di Kitab Mahabharata itu seperti
Kerajaan Kuru yang melahirkan Wangsa Kuru. Wangsa inilah yang menurunkan keluarga Pandawa dan Korawa itu. Ada lagi nama-nama seperti
Panchala,
Magadha,
Matsya, bahkan belum lama para arkeolog telah menemukan sebuah kota yang hilang di bawah laut. Kota itu dipercaya sebagai
Dwaraka
tempat Sri Krisna bertahta dan terletak di lepas pantai Gujarat yang
menghadap ke Laut Arab. Kalian bisa melihat video tentang Dwaraka
di sini.
Sedangkan tempat berlangsungnya perang besar Baratayudha yang disebut
Padang Kurusetra (berlangsung sekitar 5000 tahun yang lalu) sekarang
terletak di sebuah distrik di negara bagian
Haryana, India. Kurusetra (dari bahasa Hindi:
Kurukshetra) berarti "Daratan para Kuru".
Ada beberapa situs di Kurukshetra ini yang masih tersisa antara lain:
-
Jyotisar, tempat terkenal dimana wejangan
Bhagavad Gita diberikan kepada Arjuna oleh Sri Krisna.
-
Museum Krishna: memiliki beberapa artifak bersejarah, dan lukisan tentang perang Mahabharata.
-
Bhishma Kund di Naraktari: sebuah tempat dimana Arjuna memanah bumi agar memancarkan air untuk menghapus dahaga Resi Bhisma.
Jadi Bagaimana menurut kalian..!