saya dapat cerita ini saat saya lagi mencari - cari contoh proposal mos eh malah dapet cerita nih..! ok banget pokoknya (saya juga gak tau judul aslinya)
Pagi itu
, adik-adik, sekarang tugas kalian
adalah meminta tanda tangan kepada semua kakak-kakak osis disini, tapi
sebelumnya, kalian harus buat tabelnya dulu, isi kolomnya ada nama kakak osis,
jabatan, dan tanda tangannya. Tugas ini merupakan tugas wajib bagi kalian semua
para peserta mos, jadi jangan sampai berniat untuk tidak mengikuti tugas ini
atau berniat punya rencana licik seperti memalsukan tanda tangan. Tugas ini
nantinya dikumpulkan setelah acara mos selesai. Jadi kami semua memberi
kewenangan waktu selama 3 hari dimulai dari hari ini. Bagi kalian yang tidak
mengumpulkan, bersiaplah akan menerima hadiah dari kami. Bagaimana? Kalian
semua paham?" ucap Kak Gabriel sambil bertanya.
"Pahaaam,"
jawab para peserta mos serentak.
"Bagus. Kalau
begitu silahkan kembali ke kelas kalian masing-masing untuk menerima pelajaran
dari kakak osis yang lainnya. Selamat siang," ucap ketua osis tersebut
kemudian turun dari podium. Seketika itu juga semua para peserta mos
berhamburan kembali ke kelasnya masing-masing.
Saat semua
teman-temannya udah kembali ke kelasnya masing-masing, terlihat seorang cewek
yang lagi sibuk mencari sesuatu. Dia Sivia. Gadis itu juga merupakan salah satu
dari ratusan peserta mos di SMA Kasuari ini.
"Aduuuh, tadi
gelangnya jatuh dimana ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Sivia jadi ketakutan
sendiri, masalahnya semua temen-temen dia udah pada masuk kelas. Terus cuma ada
dia seorang diri di tengah lapangan begini. Udah gitu matahari lagi
terik-teriknya lagi. Huh! Nyebelin banget nggak sih? Sivia ngedumel dalam hati.
Dia juga kesel, gelang yang udah dibuatnya susah-susah buat atribut mos, malah
hilang gitu aja. Nggak cuma takut, atau kesel, dia juga begidik ngeri kalau
misalnya kakak osis nanti marah-marah terus ngasih hukuman supernya itu begitu
tau ada peserta mos yang telat masuk kelas dan atributnya nggak lengkap. Duh,
bisa mati Sivia. Osis-osis jaman sekarang kan muka preman semua. Hiii, Sivia
bukannya nyariin gelang itu malah ngebayangin hal yang enggak-enggak.
"Ehem!"
Aduh, Sivia yang lagi
bungkukin badannya begitu ngeliat ada bayangan hitam di depannya sambil
bersuara langsung cemas. Pasti dia kakak osis yang mergokin peserta didiknya
keluar di jam pelajaran. Sivia kembali mengaduh dalam hati. Kira-kira, dia mau
diapain ya?
"Ehem!"
Deheman itu lagi-lagi
sukses buat Sivia keringat dingin. Semoga aja, nggak ada kejadian buruk
menimpanya.
Sivia lalu memutuskan
untuk menegapkan tubuhnya, dan... Ya! Bener seperti dugaannya. Yang lagi
berdiri di depannya itu kakak osisnya, terbukti dengan kartu bertuliskan
'Panitia Osis' yang melingkar di lehernya. Tuh kan, wajah kakak osis itu
nyeremin banget. Preman aja kayanya lewat deh.
"Kelas
berapa?" tanya kakak itu sambil menatap Sivia dari ujung kaki sampai
puncak kepala.
Sivia cuma menggeleng,
kemudian menggaruk tengkuknya yang nggak gatal. Kayanya dia lupa deh dia masuk
di kelas mana. Habis, dia nggak merhatiin papan nama kelasnya sih. Aduh, kelas
berapa ya?
"Kelas
berapa?" lagi-lagi kakak itu mengulangi ucapannya. Sivia cuma bisa
menggeleng sambil memamerkan cengiran kudanya, "Maaf, kak. Aku nggak tahu
kelas berapa," tutur Sivia, polos banget.
Laki-laki itu melengos,
"Kenapa bisa nggak ta-"
"Lebih tepatnya
lupa, kak." sambar Sivia cepat meralat ucapannya.
"Kenapa bisa?"
tanya laki-laki itu dingin. Sivia lagi-lagi menggeleng.
"Ya udah.
Nama-nama. Nama lo siapa?" tanya laki-laki itu lagi.
"Sivia," jawab
Sivia datar. Kakak osisnya itu kemudian mengambil ponselnya dan mengetik
sesuatu.
"Sivia siapa?"
tanyanya lagi.
"Azizah. Sivia
Azizah," jawab Sivia.
Pemuda itu kemudian
mengarahkan ponselnya di depan Sivia. Satu... Dua... Tiga... Jepret!
Sivia melongo, ia baru
sadar kalau kakak osisnya itu baru saja mengambil gambarnya.
"Eh, kak! Kok aku
di foto sih?" tanya Sivia. Dia sepertinya tidak terima dengan sikap kakak
osisnya yang semena-mena itu.
Laki-laki di depannya
itu hanya tersenyum miring, "Ini mau gue laporin ke Gabriel. Karena lo
nggak tau lo kelas berapa. Ya udah gue foto lo aja, biar gampang nanti kasih
buktinya."
Sivia melengos kesal,
"Jangan laporin dong, kak. Emang salah aku apa?" tanya Sivia dengan
raut memelas. Sebenernya dia bodoh juga nanya pertanyaan yang jelas-jelas
jawabannya dia udah tau.
"Pake nanya lagi.
Udah jelas, ini tuh jam pelajaran, bukan jam ngebersihin lapangan!" jawab
laki-laki itu masih berkutik dengan ponselnya.
"Tapi kak, aku lagi
nyariin gelang rumbai-rumbaiku, gelang itu kan salah satu atribut mos, kalau
aku nggak pake bisa-bisa aku dihukum, jadi daripada aku dihukum, mending aku
cari dulu, tapi sampai sekarang gelangnya nggak ketemu-ketemu kak. Jadi please
dong kak, jangan dilaporin ke Kak Gabrieeel," rengek Sivia sambil menarik
lengan pemuda itu.
"Eeeh, lepas
nggak?! Lepas!" bentak laki-laki itu dengan keras.
Sivia manyun, ia akhirnya
melepas tangannya dari lengan laki-laki itu.
"Udah! Sekarang lo
balik ke kelas lo. Kalau lupa dimana kelas lo, lo tanya sama panitia
sekretariat, tuh letaknya disana," ucapnya sambil menunjuk ke arah ruang
panitia sekretariat dengan dagunya. "Buruan! Pergi sekarang nggak
lo?!" ucapnya lagi, sambil membentak.
"Terus gelangnya
gima-"
"Cepetan pergi! Lo
bakal dimarahin Gabriel nanti kalau nggak masuk kelas! Masalah gelang, bilang
aja yang sejujurnya. Udah sana!" usir laki-laki itu lagi.
Sivia-pun akhirnya nurut
dan kembali ke kelasnya. Dia emang nggak tahu kelasnya ada di 10 berapa, tapi
seenggaknya dia tahu letak kelasnya itu ada dimana. Dia udah sumpah serapah deh
dalam hati, siapapun yang nemuin gelangnya. Sivia harus berani buat
mencak-mencak di depan si tersangka. Liat aja!
***
"Kak minta tanda
tangan dong," Sivia menyodorkan buku tulis dan bolpoin kepada seorang
kakak osis yang sedang duduk di tangga penghubung kelas 11 bersama
teman-temannya. Sivia tahu kalau dia itu panitia osis, terbukti dengan kartu
tanda pengenal osis yang melingkar di lehernya. Sivia juga masa bodo dan nggak
begitu mikir amat lah begitu tahu dia satu-satunya peserta mos yang lagi minta
tanda tangan. Karena biasanya anak-anak mos selalu berkerubung sama temen yang
lainnya kalau minta tanda tangan, supaya nggak malu gitu. Tapi Sivia
bener-bener nggak peduli, yang dia mau urusan 'minta tanda tangan sama semua
kakak osis' itu cepat selesai. Biar nggak ada beban lagi. Abis itu dikumpulin.
The End deh semua.
Teman-teman si kakak
osis itu natep Sivia dari ujung kaki sampai puncak kepala. Kemudian mereka
ketawa-ketawa nggak jelas. Si kakak osis cuma diem aja, dia kemudian ngambil
buku dan bolpen Sivia kemudian mulai membubuhkan tanda tangannya.
"Nih," ucap
kakak osis itu sambil menyerahkan buku Sivia.
"Bolpennya?"
pinta Sivia.
"Nih," ucapnya
lagi.
"Pede banget sih lo
minta tanda tangan sendirian." celetuk teman kakak osis itu. Sivia kemudian
mengecek bukunya, tertera nama -Cakka K. N.- plus jabatan sebagai Bendahara 1
dengan tanda tangannya super ribet berada di urutan nomor ke-24. Wah tinggal 1
kakak osis lagi nih! Ucap Sivia dalam hati.
Sivia kemudian tersenyum
ke arah Cakka, "Terimakasih Kak Cakka,"
Cakka hanya mengangguk
acuh. Sementara teman-teman Cakka itu terus meledeki Sivia. Tapi Sivia cuek
aja. Sama sekali nggak mau nanggepin celotehan kakak kelasnya yang nggak jelas
itu. Sivia kemudian ngeloyor pergi begitu aja dari hadapan Cakka dan
teman-temannya.
***
"Yeah! Akhirnya!
Cuma 2 hari aja gue bisa dapetin tanda tangan 24 anak! Tinggal 1 lagi, selesai
deh acara nggak penting ini." ucap Sivia riang sambil berjalan menyusuri
koridor, matanya menyapu detail setiap siswa yang lewat di depannya. Berharap
ada 1 kakak osis yang lagi nganggur -nggak lagi dikerubungin sama peserta mos-
yang belum masuk di daftar nama-nama osis di bukunya.
"Tapi siapa ya yang
belum gue mintain tanda tangan?" tanya Sivia pada dirinya sendiri. Dia
kemudian mengecek bukunya lagi, "Kak Rio, Gabriel, Dayat, Angel, Zevana,
Sion, Pricilla, Febby, Em... Em... Dua puluh dua, dua puluh tiga, dua
puluh...empat. Hm, siapa lagi ya?"
Sivia kemudian memilih
untuk beralih ke perpustakaan. Tempat favoritnya setelah kantin kalau lagi
ngerasa bosan. Cuma karena ini jam istirahat dan pasti kantin lagi
penuh-penuhnya. Sivia memilih untuk ke perpustakaan aja. Sepi, tenang, damai,
suasana kaya gitu yang bisa nenangin Sivia di kondisi apapun.
Begitu Sivia membuka
handle pintu, Sivia langsung terpingkal kaget begitu melihat pemuda itu -kakak
osis yang dengan sengaja mengambil gambarnya- lagi berdiri tepat di depannya.
Kayanya kakak osis itu mau keluar. Sivia bisa merasakan kalau dirinya sekarang
lagi kaya orang aneh. Takut, cemas, dan perasaan lain menyergapnya sekarang.
Tubuhnya juga gemetar nggak karuan. Dan, keringat dingin juga mulai Sivia
rasakan. Duh, kaya ketemu setan aja sih. Entahlah.
"Minggir!"
hardik pemuda itu ketus. Sivia kemudian menggeser badannya dan mengijinkan
pemuda itu untuk melewatinya.
Sivia lagi-lagi melengos
kesal kalau ketemu sama kakak osis itu. Siapa sih dia? Eh tunggu! Sekilas tadi
Sivia ngelirik badge name yang tertera di seragamnya. Kalau nggak salah namanya
itu, Kelvin, Kalvin, atau Alvin ya? Terus nama belakangnya Jonathan S. S-nya
siapa? Aduh, itu cowok bikin penasaran aja sih. Sivia kemudian membatalkan
niatnya untuk menenangkan diri di perpustakaan. Ia lalu keluar lagi dan berlari
ke kelasnya. Oh ya, sekarang Sivia tau dia kelas berapa. X-2.
***
"Shilla!
Shilla!" Sivia menghampiri Shilla saat hampir mau keluar dari kelasnya.
Kayanya dia mau nyari tanda tangan kakak osis. Terbukti tangannya menenteng
buku dan bolpoin.
"Ada apa?"
"Boleh liat buku lo
nggak? Yang isinya tanda tangan kakak-kakak osis,"
Shilla menaikan
bibirnya, "Buat apa?"
Sivia menggaruk
tengkuknya, "Em... Nggak buat apa-apa, cuma pengen liat aja udah dapet
berapa," ucap Sivia mengada.
"Oh. Nih,"
ucap Shilla sambil menyerahkan bukunya, "Gue baru dapet 18. Susah banget
mintain tanda tangan sama kakak-kakak osis. Banyak banget yang pelit. Padahal
mereka sendiri yang buat tugas begituan. Tapi begitu dimintain malah pura-pura
nggak mau. Nyebelin banget deh. Malahan tuh kemarin-" ucap Shilla terus
berceloteh. Sementara Sivia menyusuri daftar tanda tangan di buku Shilla
satu-satu dengan telunjuknya.
Dan, yap! Jari
telunjuknya tepat berhenti di nomor 15. Rupanya, namanya Alvin toh. Di buku
Shilla, tertera nama panjang 'Alvin Jonathan S'. Sivia jadi keheranan sendiri,
S-nya itu siapa ya?
"-udah gitu ya, si
Angel itu pake acara ngebentak gue segala lagi. Gimana nggak kesel coba? Padahal
gue kan nggak salah apa-apa. Tapi dia begitu. Emang dasar ya, kakak osis jaman
sekarang tuh cuma bi-"
"Shilla, lo tahu
nggak nama panjang Kak Alvin?" tanya Sivia langsung memutus ucapan Shilla
yang sedari tadi belum berhenti.
Shilla diam, kemudian
menarik bukunya yang masih berada di genggaman Sivia, matanya kemudian
menelusuri nama 'Alvin' itu, sesaat dia diam beberapa detik. Kemudian berujar,
"Alvin Jonathan S-"
"S-nya siapa?"
serobot Sivia penasaran.
"Aduh, elo tuh main
nyerobot aja sih. S-nya itu Sindunata. Emang kenapa?"
"Oh? Nggak papa.
Thanks ya, Shil. Gue duluan!" ucap Sivia kemudian berlari melewati Shilla.
***
Alvin hari ini lagi
duduk di tepian lapangan basket sama temen-temennya. Dia baru aja tanding
basket sama kakak kelas. Dan hasilnya mereka unggul 2 point. Kalau habis pulang
sekolah, kakak kelasnya yang dari kelas 12 emang suka nantangin adik-adik
kelasnya buat tanding basket. Dulu, sebelum Alvin masuk dan jadi anggota Tim
Basket, anak kelas 12 udah jelas bakal menang di setiap pertandingan ngelawan
adik kelasnya. Tapi begitu Alvin masuk di Tim Basket SMA Kasuari ini, Tim
Basket angkatannya pasti selalu menang kalau ngelawan anak kelas 12. Bisa jadi
alasannya gitu, karena ada Alvin.
Siang ini lagi panas
banget, jadi Alvin masih ogah buat balik ke rumahnya. Dia dan teman-temannya
lebih memilih buat istirahat sebentar sambil duduk di tepian lapangan yang
dilindungi atap kecil.
"Eh, lo tau Sivia
nggak?" tanya Alvin entah pada siapa. Perhatiannya tertuju pada bola
basket yang sedang ia pantul-pantulkan di tempat.
"Sivia?" tanya
Dayat yang duduk di samping Alvin.
"Iya. Anak
mos." jawab Alvin sambil terus memainkan bolanya.
"Kayanya gue tahu
deh," celetuk Cakka tiba-tiba.
Alvin beralih ke Cakka,
"Lo kenal?"
"Kenal sih enggak.
Tapi kan dia anak mos. Dan gue osis. Tentu aja gue tahu. Soalnya kemarin dia
minta tanda tangan gitu ke gue," jawab Cakka lalu merebut bola yang di
pegang Alvin.
"Terus?"
"Terus apanya? Ya
udah cuma gitu." jawab Cakka sekenanya.
"Lo naksir sama
adik kelas?" tanya Rio sambil melempar 4 aqua gelas kepada Alvin, Dayat,
Cakka, dan Gabriel.
Hap! Alvin nangkep
dengan sempurna, "Menurut lo, Sivia gimana?" tanya Alvin lagi kepada
Cakka, tanpa menggubris pertanyaan Rio.
"Gimana ya? Em,
orangnya supel, kadang ceria, kadang cuek, ramah senyum, dan... Cantik."
jawab Cakka sambil meneguk aqua-nya.
"Eh? Sivia Azizah
kan?" tanya Gabriel tiba-tiba.
Alvin beralih ke
Gabriel, yang duduk paling pinggir, "Iya, Gab!"
"Waktu itu bukannya
dia yang telat masuk ya? Terus yang waktu itu lo laporan ke gue soal anak
itu?"
"Jadi lo ngebina di
kelasnya Sivia?" tanya Alvin tertarik.
"Enggak. Waktu itu
gue lagi keliling, pas gue lagi berhenti di kelasnya, tiba-tiba dia masuk terus
dia bilang kalau dia telat gara-gara gelangnya hilang terus dia harus nyari
dulu, terus karena dia nggak nemuin gelangnya akhirnya dia milih buat masuk ke
kelasnya aja. Dan lucunya, dia nerangin itu semua sebelum gue atau siapapun
anak osis yang ada di kelasnya nanya ke dia," terang Gabriel.
"Dia bawa-bawa nama
gue nggak? Atau nyebut-nyebut kakak osis gitu di lapangan?" tanya Alvin
lagi.
"Nggak." jawab
Gabriel singkat.
Alvin menghela nafas.
"Kenapa sih?"
tanya Cakka merasa heran pada temannya itu.
"Nggak tahu. Tapi,
Gab, menurut lo Sivia gimana?" tanya Alvin lagi pada Gabriel.
"Orangnya kocak,
lucu, ramah juga, suka ngejayus, anaknya cerewet, bawel, moody-an banget, kalau
diledekin pasti ngambek, cantik juga," jawab Gabriel santai.
"Kok lo bisa tau
sebanyak itu?" tanya Alvin curiga.
"Gue kan punya
telepati."
"Halah," Alvin
menepis angin, "Tapi menurut gue, dia manis." ucap Alvin tiba-tiba.
"Cieee yang lagi
jatuh cinta pada pandangan pertama nih? Cieee," ledek Rio sambil
memamerkan cengiran kudanya dan menaik-turunkan alis hitamnya.
Sementara Alvin hanya
tersenyum menanggapi celotehan Rio.
"Tembak aja, Vin.
Ntar keburu diambil orang loh!" ucap Gabriel sambil menepuk punggung
Alvin. Dia kemudian melirik sekilas ke jam tangannya, "Eh, gue balik dulu
ya."
"Gue ikut,"
ucap Cakka.
"Gue juga!"
Rio ikut membenahi peralatannya.
"Ya udah deh,
pulang yuk semua! Vin, lo nggak mau pulang dulu?" tanya Dayat.
"Duluan aja, gue
mau ngembaliin bola ini dulu," jawab Alvin sambil menunjukan bola basket
kepunyaan sekolah itu.
"Oke deh, duluan
bro!" ucap Gabriel menepuk bahu Alvin.
"Yo!" balas
Alvin sambil melambaikan tangannya.
***
Alvin bergegas mempercepat
langkahnya untuk meletakan bola basket yang di pegangnya sekarang ke Ruang
Olahraga. Karena baru aja hujan rintik-rintik mengguyur kota ibukota ini.
Sebelum hujannya bener-bener deras, Alvin paling nggak harus udah sampai di
halte depan sekolahnya.
Breezzz!!!
Baru aja Alvin nutup
pintu Ruang Olahraga setelah ia melempar bola basketnya sembarang, tiba-tiba
hujan malah turun makin deras. Alvin lalu berlari menuju gerbang sekolahnya
yang masih dibuka lebar-lebar. Nampak seorang pria paruh baya berseragam yang
menyapanya dari dalam Pos, siapa lagi kalau bukan Pak Mamad, satpam paling
ramah di seantero sekolah. Alvin hanya mengangguk dan tersenyum, tangannya
terangkat ke atas untuk melindungi kepalanya dari guyuran hujan.
"Hffftt,"
Alvin mendesah lega. Ia akhirnya sampai juga di halte depan sekolahnya. Kali
ini seragam osis putih abu-abunya benar-benar basah. Langit siang ini memang
tidak tanggung-tanggung menumpahkan tangisnya.
Alvin lalu menengok ke
sekelilingnya, nampak tiga orang yang juga turut duduk di sampingnya. Dua
wanita paruh baya yang menenteng banyak kantong belanjaan, dan seorang remaja
putri yang mengenakan seragam sama dengannya. Karena tidak ada objek lain yang
lebih menyenangkan, Alvin mengalihkan perhatiannya. Memandang ke arah jalanan
sepi yang di guyuri air hujan.
"Eh," Alvin
kemudian kembali memperhatikan gadis yang duduk di sebelah dua wanita paruh
baya tadi, sepertinya ia mengenali siapa gadis itu. Tapi siapa ya?
Hingga kemudian sebuah
Mini Bus lewat dan berhenti tepat di depan halte. Alvin lalu mengalihkan
perhatiannya kepada Bus tersebut. Shit! Ternyata bukan jurusannya, ucap Alvin
dalam hati. Dua wanita paruh baya tadi mengangkat kantong belanjaannya yang
sangat banyak dan menentengnya untuk memasuki ke Mini Bus tersebut.
Halte kini sepi. Setelah
ditinggal dua wanita tadi, kini hanya ada Alvin dan gadis itu.
"Kak Alvin!"
Alvin menoleh ke samping
kirinya, mendapati seorang gadis yang tengah menatapnya sambil menelungkupkan
tangannya di depan dada. Gadis itu kemudian menggeser duduknya hingga mendekat
ke arah Alvin.
"Elo kan-"
"Aku Sivia kak!
Yee, kakak masih ingat aku?" tanya Sivia, matanya berbinar-binar.
"Nggak." jawab
Alvin datar.
"Mm," Sivia
memainkan bibirnya, "Kakak kok belum pulang?"
"Nunggu hujan
reda."
"Kan bel sekolah
bunyi 2 jam yang lalu kak?"
"Abis tanding
basket."
"Oh ya? Kakak bisa
main basket? Wah, keren banget dong kak! Ajarin doooong," rengek Sivia
sambil menggoyang-goyangkan lengan kakak kelasnya itu.
Alvin melirik Sivia
dengan mengerutkan keningnya, kemudian seolah-olah menghipnotis Sivia untuk
melepaskan tangannya.
Sivia berdecak sebal, ia
lalu melepaskan genggaman tangannya. "Tanding sama siapa kak?"
tanyanya lagi, masih belum puas rupanya dia bertanya-tanya.
"Kakak kelas,"
"Menang atau
kalah?"
"Menang,"
"Wah kakak
hebat!"
"Hm,"
Sivia kemudian
bergeming, sepertinya dia kebingungan mencari topik obrolan lain yang lebih
seru.
"Aha!" Sivia
menjentikkan jarinya, ia kemudian membuka resleting tasnya, mengeluarkan sebuah
buku dan bolpoin berwarna biru muda.
"Minta tanda tangan
kak! Cuma kakak doang, osis yang belum aku mintain tanda tangan." ucap
Sivia sambil menyodorkan buku dan bolpoinnya.
Alvin meliriknya
sekilas, kemudian mengalihkan perhatiannya ke depan lagi.
"Kak," pinta
Sivia lagi, "Besok kan mau dikumpulin kak, kalau nggak lengkap nanti aku
dihukum gimana? Nanti aku dimarahin kakak osis gimana? Nanti aku di-"
"Sini," ucap
Alvin gemas sambil menarik buku dan bolpoin Sivia.
Sivia kemudian menyangga
dagunya dengan tangan, memperhatikan gerak-gerik tangan Alvin yang menari di
atas bukunya.
"Lo harus tau nama
leng-"
"Alvin Jonathan
Sindunata, kan?" tanya Sivia memastikan.
"Jaba-"
"Wakil ketua,
kan?"
Alvin hanya mengangguk,
dalam hatinya bangga juga bisa dikenal sama adik kelasnya itu. Tapi dasar
Alvin, tengsin dong kalau harus ngaku? Ya minimal dia harus jaga kewibawaannya.
Setelah menuliskan nama lengkapnya beserta jabatan, kemudian membubuhkan tanda
tangannya, ia menyerahkan bukunya ke arah Sivia.
"Yeeeay! Makasih
kak Alvin, kakak baik deh. Syukur alhamdulillah, tugas nggak penting ini
akhirnya terselesaikan juga, huwaaaah," ucap Sivia senang sambil memeluk
bukunya.
"Tugas apa lo
bilang?" tanya Alvin sinis.
"Eh," Sivia
menutup mulutnya, sadar kalau pemuda disampingnya ini adalah anggota osis.
"Nggak bilang apa-apa,"
Alvin kemudian diam. Ia
lalu melirik ke arah jam tangannya. Kemudian sesekali menghela nafas panjang.
"Jam berapa
kak?" tanya Sivia sambil melirik ke arah tangan kiri Alvin.
"Tiga kurang
seperempat,"
"Oh,"
"Kakak dingin ya?
Ini aku pake jaket, kakak mau make?" tanya Sivia lagi sambil melepaskan
jaketnya.
"Eeeeh, nggak usah.
Apaan sih kok malah jadi lo yang makein gue jaket. Seharusnya ya gue lah, gila
lo." sungut Alvin sebal.
Sivia tersenyum,
"Ya udah. Kakak pakein aku jaket aja, aku kedinginan nih kak." ucap
Sivia sambil memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya, berpura-pura kedinginan.
"Gue nggak bawa
jaket,"
"Ya udah pake jaket
aku aja, nih!" Sivia menyerahkan jaketnya yang sudah terlepas.
"Pake aja sendiri.
Nggak bisa make?" tanya Alvin sambil melirik malas ke arah Sivia.
Lagi-lagi Sivia
mendecakan lidahnya, "Nggak gentle banget sih. Biasanya tuh kalau di
sinetron-sinetron gitu, ngeliat ceweknya kedinginan, pasti cowoknya langsung
bertindak, biasanya sih makein jaket yang dipakenya, kalau nggak make jaket, ya
buat api unggun, kalau nggak ada api sama ranting, ya... Dipeluk," celoteh
Sivia panjang lebar sambil melirik ke arah Alvin, yang dilirik hanya diam tanpa
merespons.
"Huh, dasar orang
dingin, sedingin samudera antlatik," cibir Sivia kesal.
"Apa lo bi-"
"Nggak."
sambar Sivia cepat sebelum Alvin menyelesaikan ucapannya.
Tiba-tiba saja sebuah
BMW hitam berhenti tepat di depan mereka. Kaca penumpang kemudian terbuka,
menampilkan sosok lelaki yang mengenakan kacamata hitam, tubuhnya dibalut
kemeja putih dengan lengan yang ditekuk hingga sikunya, rambut pemuda itu juga
agak di jabrik-an ke atas. Tampang sengak, pikir Alvin dalam hati.
Sivia kemudian tersenyum
ketika pemuda itu juga tersenyum ke arahnya. Sivia lalu mendekat ke arah pemuda
tersebut, "Kak Alvin, aku pulang ya, daaah!" teriak Sivia kepada
Alvin, kemudian ia masuk ke dalam mobil tersebut.
Setelah membunyikan
klaksound tanda pamit kepada Alvin, mobil itu kemudian mulai berjalan menyusuri
jalanan aspal yang masih diguyur hujan.
Alvin sedikit kecewa
begitu Sivia pulang, apalagi ketika melihat pemuda itu. Siapa sih pemuda itu?
Tampangnya sok oke banget. Padahal Alvin masih ingin berbincang dengan gadis
itu. Keceriaan gadis itu mampu menghapus rasa lelah Alvin setelah bertanding
basket tadi. Menyenangkan sekali.
"Eh, apaan sih.
Ngapain jadi mikirin dia? Idih," Alvin bermonolog ria sambil menepis-nepis
bayang-bayang tentang Sivia.
***
"Dengan ini, saya
menyatakan bahwa Kegiatan MOS periode 2011/2012 di tutup!" ucap Gabriel
mengakhiri pidatonya sambil menepuk-nepuk michrophone sebanyak 3x, sebagai
tanda bahwa kegiatan mos telah ditutup.
Para peserta MOS tampak
senang. Mereka bertepuk ria, melampiaskan kegembiraannya. Perjuangan untuk
menjadi 'orang gila' dengan belasan kuciran rambut, tali sepatu rafia, kaus
kaki beda warna, gelang rumbai-rumbai, kalung dari tanaman obat, dan topi dari
panci kecil selama tiga hari akhirnya selesai juga.
Setelah mendapat aba-aba
bahwa upacara telah dibubarkan. Semua para peserta mos -lebih tepatnya mantan
peserta mos- melepas atribut-atribut yang menempel di tubuhnya. Kini status
mereka bukan lagi para pesera mos, melainkan siswa resmi di SMA Kasuari.
Begitu juga dengan
Sivia, dia memeluk erat tubuh Shilla, sebagai bentuk kebahagiannya. Mereka
berdua kemudian berloncat-loncat ria sambil melemparkan atribut-atribut mereka
ke sembarang arah. Bahkan topi yang berasal dari panci-pun ikut terbuang,
mengakibatkan suara gemerincing panci yang dijatuhkan sengaja. Tapi mereka
tidak peduli. Senang sekali rasanya, sebentar lagi mereka akan menikmati masa
Putih Abu-Abu.
"Ehm,
Sivia..." Shilla menghentikan aksi loncat-meloncatnya.
"Kenapa?"
tanya Sivia tidak mengerti.
"Itu," Shilla
menunjuk ke arah belakang Sivia dengan dagunya.
"Apa?" tanya
Sivia masih bingung.
Shilla lagi-lagi
menunjuk ke arah belakang Sivia dengan dagunya, Sivia kemudian membalikan
tubuhnya ke belakang, seketika itu juga dia tersenyum senang mendapati sosok
itu berdiri di depannya.
"Kak Alviiin,"
tanpa di komando lagi, Sivia segera memeluk Alvin, refleks.
Alvin yang kaget hanya
diam tanpa ingin menanggapi pelukan Sivia. Nyaman juga, pikir Alvin dalam hati.
"Eh," Sivia
yang sadar kemudian melepaskan pelukannya dari Alvin, kemudian menatap sepatu
hitamnya, malu sekali rasanya. Siapa dia, siapa kak Alvin? Asal main peluk aja.
Sivia kemudian menoleh
ke arah belakang, rupanya Shilla sudah tidak ada disana. Tapi kemudian Sivia
menangkap sosok tubuh Shilla yang sedang bergurau dengan... Siapa itu? Astaga,
itu kan kak Cakka? Sivia semakin memicingkan matanya, membuat mata sipitnya
semakin sipit. Ngapain mereka berdua? Pikir Sivia.
"Mereka udah
jadian," ucap Alvin, rupanya dia memahami arah pikiran Sivia.
"Hah?" Sivia
melongo dibuatnya, "Sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang sih?"
"Ngapain musti
bilang ke elo? Emang penting?" tanya Alvin santai.
"Ya penting lah.
Shilla kan sahabat aku juga," jawab Sivia sebal.
"Banyak kali, anak
osis yang nembak anak mos," ucap Alvin santai -lagi-.
"Oh ya? Siapa
aja?"
"Shilla sama Cakka.
Si Rio sama Ify. Si Dayat sama Agni. Banyak deh,"
"Ya ampuuun! So
sweet banget sih," ucap Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh, gue boleh
nanya nggak?" Alvin menyiku tangan di dadanya.
Sivia hanya mengangguk.
"Kemarin lo di
jemput sama siapa?" tanya Alvin agak kikuk.
Sivia diam sebentar.
Kemudian menatap Alvin aneh, "Ngapain lo nanya-nanya gituan? Suka-suka gue
dong mau di jemput sama siapa aja."
"Gue nanya. Ngapain
lo balik nanya?"
Sivia mendecakan lidah,
"Kak Gabriel."
"HAH?" Alvin
melongo mendengar jawaban Sivia. Siapa? Gabriel? Dia...?
"Iya. Kenapa?"
Sivia balik bertanya sambil menatap Alvin heran.
"Nggak," balas
Alvin cepat. "PJ lo! Jadian nggak bilang-bilang," ucap Alvin mencoba
menghibur dirinya.
"PJ? Apaan? Jadian
sama siapa?" tanya Sivia makin heran.
"Sama
Gabriel," ucap Alvin sinis.
"Hah?" Sivia
menatap Alvin dengan heran. Sepersekian detik kemudian, Sivia tertawa.
"Ngapain lo
ketawa?" sungut Alvin.
"Sivia!" Sivia
dan Alvin serentak menoleh ke arah Gabriel yang berjalan menghampiri mereka.
Sial, sial, sial. Rutuk Alvin dalam hati. Ngapain Gabriel kesini? Pasti mau
mesra-mesraan deh. Sial banget. Seharusnya gue nggak disini. Alvin terus memaki
dalam hati.
"Apa kak?"
tanya Sivia beralih ke Gabriel.
"Nanti bilangin
Mama, kakak pulang jam 5. Ada tanding sama klub basket lain," jawab
Gabriel.
"Bilang sendiri aja
nggak bisa?" tanya Sivia lagi.
"Bukannya nggak
bisa. Pulsa gue abis. Udah deh, tinggal bilang aja apa susahnya sih."
cibir Gabriel.
Alvin yang mendengar
sekaligus melihat perbincangan dua orang di hadapannya itu hanya melongo tidak
mengerti. Mama? Maksudnya?
"Eh, elo bro!"
Gabriel beralih ke Alvin. Baru tau kalau sohibnya ada di depannya bersama
Sivia.
Alvin hanya tersenyum
masam menanggapi Gabriel.
"Lagi proses
pedekate ya? Gue bilangin buruan. Sebelum adik gue ini digebet sama cowo
lain!" ucap Gabriel santai sambil sesekali melirik ke arah Sivia.
"Adik?" tanya
Alvin heran.
"Iya! Sivia ini!
Adik gue! Oh... Astaga, gue lupa belum ngenalin lo ya. Siv, ini Alvin, sohib
gue," ucap Gabriel pada Sivia, "Nah, Vin, ini Sivia, adik gue!"
Gabriel beralih ke Alvin.
"Oh, lo berdua,
kakak...adik?" tanya Alvin lagi, kali ini ingin memastikan pendengarannya
tidak salah.
"Iyaaa!"
Alvin mendesah lega.
Entah. Senang sekali rasanya mendengar pernyataan Gabriel.
"Pantesan aja pas
gue tanya soal dia lo bisa jawab serinci itu. Rupanya lo kakaknya? Heh,"
ucap Alvin tanpa sadar.
"Tanya soal gue?
Tanya apaan?" Sivia memekik penasaran.
"Ha? Engg-"
Alvin jadi bingung ditanya sama Sivia begitu.
"Tanya
apaan?!" paksa Sivia lagi.
"Nggak."
sembur Alvin langsung.
"Btw, lo berdua
kemarin pacaran ya di Halte? Wah jadian nggak bilang-bilang lo!" ucap Gabriel
sambil menoyor kepala Alvin.
"Siapa juga yang
jadian? Emang kakak sama kak Pricill pacaran di loteng sekolah?" cibir
Sivia.
"Wah kurangajar lo.
Eh, Vin, gue balik ya. Nitip adik gue nih. Hati-hati dia suka kambuh
penyakitnya. Penyakit gila." ucap Gabriel sambil menepuk-nepuk puncak
kepala Sivia.
"Iiih, lo yang
gila," cibir Sivia lagi sambil menepis tangan kakaknya.
"Udahan ya.
Daaah!" Gabriel kemudian berlalu dari Sivia dan Alvin.
"Siv," Sivia
menoleh ke arah Alvin yang sedang menatapnya lurus-lurus.
Sivia hanya mengangkat
alisnya.
"Lo nggak mau kaya
temen-temen lo?" tanya Alvin masih menatap Sivia.
"Emang temen-temen
gue kenapa?" Sivia balik bertanya.
"Ya, kaya Shilla,
kaya Ify, yang ditembak sama kakak osisnya," jawab Alvin santai.
Sivia memutar bola
matanya, "Kepengen sih. Tapi sama siapa ya?"
"Kalau sama
gue?"
DEG!
Sivia hanya menatap
Alvin dengan tampang seolah-olah tak percaya. 'Kalau sama gue?' apa Alvin akan
menembak dirinya? Aaaa, yang benar saja? Aduh, maksudnya apa?
Alvin masih menatap
Sivia lurus-lurus. Kali ini terukir jelas di bibirnya yang membentuk senyuman
tipis. Dan... Oh! Demi Tuhan! Senyuman itu! Manis sekali. Alvin terlihat lebih
tampan!
"Gue suka sama
lo,"
4 kata yang terlontar
dari mulut Alvin benar-benar membuat Sivia terhipnotis. Dia mematung di tempat.
Seolah-olah bumi juga ikut berhenti berputar. Kata-kata Alvin barusan sukses
membuat otaknya sulit berfikir jernih. Sulit bernafas. Dan sulit berbicara.
"Gue juga,"
ucap Sivia tanpa sadar. "Eh!" dengan segera Sivia membekap mulutnya
sendiri. Sadar atas apa yang baru saja dia katakan sangat memalukan. Apa ini?
Kenapa dia berkata seperti itu? Apa dia benar-benar menyukai pemuda itu?
Alvin kemudian
menghembuskan nafas lega. Senang mendengar pernyataan yang baru saja keluar
dari mulut manis Sivia. Alvin kemudian meraih kedua tangan Sivia, lalu
menggenggamnya erat, seolah-olah dia tidak ingin melihat Sivia pergi darinya.
Alvin lalu perlahan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Sivia. Nampak sangat
jelas, semburat merah merona yang terhias di pipi Sivia. Alvin kemudian merogoh
saku celananya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih menggenggam
erat tangan Sivia. Ia lalu mengeluarkan sebuah gelang, gelang rumbai-rumbai
yang terbuat dari tali rafia, gelang yang menjadi atribut mos, dan gelang milik
Sivia yang hilang. Alvin lalu menaruh benda itu di telapak tangan Sivia.
"Kok gelangnya ada
di lo sih kak?" tanya Sivia kaget sambil mengangkat gelangnya.
Tiba-tiba saja, Alvin
mendaratkan kecupannya di pipi kiri Sivia. Setelahnya, laki-laki itu segera
bergegas kabur sebelum mendengar semburan Sivia.
"KAK
ALVIIIIIIIIIIIINNNN!!!"
THE
END