Monday, 30 July 2012

Gara - Gara MOS


saya dapat cerita ini saat saya lagi mencari - cari contoh proposal mos eh malah dapet cerita nih..! ok banget pokoknya (saya juga gak tau judul aslinya) 


Pagi itu
, adik-adik, sekarang tugas kalian adalah meminta tanda tangan kepada semua kakak-kakak osis disini, tapi sebelumnya, kalian harus buat tabelnya dulu, isi kolomnya ada nama kakak osis, jabatan, dan tanda tangannya. Tugas ini merupakan tugas wajib bagi kalian semua para peserta mos, jadi jangan sampai berniat untuk tidak mengikuti tugas ini atau berniat punya rencana licik seperti memalsukan tanda tangan. Tugas ini nantinya dikumpulkan setelah acara mos selesai. Jadi kami semua memberi kewenangan waktu selama 3 hari dimulai dari hari ini. Bagi kalian yang tidak mengumpulkan, bersiaplah akan menerima hadiah dari kami. Bagaimana? Kalian semua paham?" ucap Kak Gabriel sambil bertanya.

          "Pahaaam," jawab para peserta mos serentak.

          "Bagus. Kalau begitu silahkan kembali ke kelas kalian masing-masing untuk menerima pelajaran dari kakak osis yang lainnya. Selamat siang," ucap ketua osis tersebut kemudian turun dari podium. Seketika itu juga semua para peserta mos berhamburan kembali ke kelasnya masing-masing.


          Saat semua teman-temannya udah kembali ke kelasnya masing-masing, terlihat seorang cewek yang lagi sibuk mencari sesuatu. Dia Sivia. Gadis itu juga merupakan salah satu dari ratusan peserta mos di SMA Kasuari ini.

          "Aduuuh, tadi gelangnya jatuh dimana ya?" tanyanya pada diri sendiri.

          Sivia jadi ketakutan sendiri, masalahnya semua temen-temen dia udah pada masuk kelas. Terus cuma ada dia seorang diri di tengah lapangan begini. Udah gitu matahari lagi terik-teriknya lagi. Huh! Nyebelin banget nggak sih? Sivia ngedumel dalam hati. Dia juga kesel, gelang yang udah dibuatnya susah-susah buat atribut mos, malah hilang gitu aja. Nggak cuma takut, atau kesel, dia juga begidik ngeri kalau misalnya kakak osis nanti marah-marah terus ngasih hukuman supernya itu begitu tau ada peserta mos yang telat masuk kelas dan atributnya nggak lengkap. Duh, bisa mati Sivia. Osis-osis jaman sekarang kan muka preman semua. Hiii, Sivia bukannya nyariin gelang itu malah ngebayangin hal yang enggak-enggak.

          "Ehem!"

          Aduh, Sivia yang lagi bungkukin badannya begitu ngeliat ada bayangan hitam di depannya sambil bersuara langsung cemas. Pasti dia kakak osis yang mergokin peserta didiknya keluar di jam pelajaran. Sivia kembali mengaduh dalam hati. Kira-kira, dia mau diapain ya?

          "Ehem!"

          Deheman itu lagi-lagi sukses buat Sivia keringat dingin. Semoga aja, nggak ada kejadian buruk menimpanya.

          Sivia lalu memutuskan untuk menegapkan tubuhnya, dan... Ya! Bener seperti dugaannya. Yang lagi berdiri di depannya itu kakak osisnya, terbukti dengan kartu bertuliskan 'Panitia Osis' yang melingkar di lehernya. Tuh kan, wajah kakak osis itu nyeremin banget. Preman aja kayanya lewat deh.

          "Kelas berapa?" tanya kakak itu sambil menatap Sivia dari ujung kaki sampai puncak kepala.

          Sivia cuma menggeleng, kemudian menggaruk tengkuknya yang nggak gatal. Kayanya dia lupa deh dia masuk di kelas mana. Habis, dia nggak merhatiin papan nama kelasnya sih. Aduh, kelas berapa ya?

          "Kelas berapa?" lagi-lagi kakak itu mengulangi ucapannya. Sivia cuma bisa menggeleng sambil memamerkan cengiran kudanya, "Maaf, kak. Aku nggak tahu kelas berapa," tutur Sivia, polos banget.

          Laki-laki itu melengos, "Kenapa bisa nggak ta-"

          "Lebih tepatnya lupa, kak." sambar Sivia cepat meralat ucapannya.

          "Kenapa bisa?" tanya laki-laki itu dingin. Sivia lagi-lagi menggeleng.

          "Ya udah. Nama-nama. Nama lo siapa?" tanya laki-laki itu lagi.

          "Sivia," jawab Sivia datar. Kakak osisnya itu kemudian mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu.

          "Sivia siapa?" tanyanya lagi.

          "Azizah. Sivia Azizah," jawab Sivia.

          Pemuda itu kemudian mengarahkan ponselnya di depan Sivia. Satu... Dua... Tiga... Jepret!

          Sivia melongo, ia baru sadar kalau kakak osisnya itu baru saja mengambil gambarnya.

          "Eh, kak! Kok aku di foto sih?" tanya Sivia. Dia sepertinya tidak terima dengan sikap kakak osisnya yang semena-mena itu.

          Laki-laki di depannya itu hanya tersenyum miring, "Ini mau gue laporin ke Gabriel. Karena lo nggak tau lo kelas berapa. Ya udah gue foto lo aja, biar gampang nanti kasih buktinya."

          Sivia melengos kesal, "Jangan laporin dong, kak. Emang salah aku apa?" tanya Sivia dengan raut memelas. Sebenernya dia bodoh juga nanya pertanyaan yang jelas-jelas jawabannya dia udah tau.

          "Pake nanya lagi. Udah jelas, ini tuh jam pelajaran, bukan jam ngebersihin lapangan!" jawab laki-laki itu masih berkutik dengan ponselnya.

          "Tapi kak, aku lagi nyariin gelang rumbai-rumbaiku, gelang itu kan salah satu atribut mos, kalau aku nggak pake bisa-bisa aku dihukum, jadi daripada aku dihukum, mending aku cari dulu, tapi sampai sekarang gelangnya nggak ketemu-ketemu kak. Jadi please dong kak, jangan dilaporin ke Kak Gabrieeel," rengek Sivia sambil menarik lengan pemuda itu.

          "Eeeh, lepas nggak?! Lepas!" bentak laki-laki itu dengan keras.

          Sivia manyun, ia akhirnya melepas tangannya dari lengan laki-laki itu.

          "Udah! Sekarang lo balik ke kelas lo. Kalau lupa dimana kelas lo, lo tanya sama panitia sekretariat, tuh letaknya disana," ucapnya sambil menunjuk ke arah ruang panitia sekretariat dengan dagunya. "Buruan! Pergi sekarang nggak lo?!" ucapnya lagi, sambil membentak.

          "Terus gelangnya gima-"

          "Cepetan pergi! Lo bakal dimarahin Gabriel nanti kalau nggak masuk kelas! Masalah gelang, bilang aja yang sejujurnya. Udah sana!" usir laki-laki itu lagi.

          Sivia-pun akhirnya nurut dan kembali ke kelasnya. Dia emang nggak tahu kelasnya ada di 10 berapa, tapi seenggaknya dia tahu letak kelasnya itu ada dimana. Dia udah sumpah serapah deh dalam hati, siapapun yang nemuin gelangnya. Sivia harus berani buat mencak-mencak di depan si tersangka. Liat aja!

***

          "Kak minta tanda tangan dong," Sivia menyodorkan buku tulis dan bolpoin kepada seorang kakak osis yang sedang duduk di tangga penghubung kelas 11 bersama teman-temannya. Sivia tahu kalau dia itu panitia osis, terbukti dengan kartu tanda pengenal osis yang melingkar di lehernya. Sivia juga masa bodo dan nggak begitu mikir amat lah begitu tahu dia satu-satunya peserta mos yang lagi minta tanda tangan. Karena biasanya anak-anak mos selalu berkerubung sama temen yang lainnya kalau minta tanda tangan, supaya nggak malu gitu. Tapi Sivia bener-bener nggak peduli, yang dia mau urusan 'minta tanda tangan sama semua kakak osis' itu cepat selesai. Biar nggak ada beban lagi. Abis itu dikumpulin. The End deh semua.

          Teman-teman si kakak osis itu natep Sivia dari ujung kaki sampai puncak kepala. Kemudian mereka ketawa-ketawa nggak jelas. Si kakak osis cuma diem aja, dia kemudian ngambil buku dan bolpen Sivia kemudian mulai membubuhkan tanda tangannya.

          "Nih," ucap kakak osis itu sambil menyerahkan buku Sivia.

          "Bolpennya?" pinta Sivia.

          "Nih," ucapnya lagi.

          "Pede banget sih lo minta tanda tangan sendirian." celetuk teman kakak osis itu. Sivia kemudian mengecek bukunya, tertera nama -Cakka K. N.- plus jabatan sebagai Bendahara 1 dengan tanda tangannya super ribet berada di urutan nomor ke-24. Wah tinggal 1 kakak osis lagi nih! Ucap Sivia dalam hati.

          Sivia kemudian tersenyum ke arah Cakka, "Terimakasih Kak Cakka,"

          Cakka hanya mengangguk acuh. Sementara teman-teman Cakka itu terus meledeki Sivia. Tapi Sivia cuek aja. Sama sekali nggak mau nanggepin celotehan kakak kelasnya yang nggak jelas itu. Sivia kemudian ngeloyor pergi begitu aja dari hadapan Cakka dan teman-temannya.

***
          "Yeah! Akhirnya! Cuma 2 hari aja gue bisa dapetin tanda tangan 24 anak! Tinggal 1 lagi, selesai deh acara nggak penting ini." ucap Sivia riang sambil berjalan menyusuri koridor, matanya menyapu detail setiap siswa yang lewat di depannya. Berharap ada 1 kakak osis yang lagi nganggur -nggak lagi dikerubungin sama peserta mos- yang belum masuk di daftar nama-nama osis di bukunya.

          "Tapi siapa ya yang belum gue mintain tanda tangan?" tanya Sivia pada dirinya sendiri. Dia kemudian mengecek bukunya lagi, "Kak Rio, Gabriel, Dayat, Angel, Zevana, Sion, Pricilla, Febby, Em... Em... Dua puluh dua, dua puluh tiga, dua puluh...empat. Hm, siapa lagi ya?"

          Sivia kemudian memilih untuk beralih ke perpustakaan. Tempat favoritnya setelah kantin kalau lagi ngerasa bosan. Cuma karena ini jam istirahat dan pasti kantin lagi penuh-penuhnya. Sivia memilih untuk ke perpustakaan aja. Sepi, tenang, damai, suasana kaya gitu yang bisa nenangin Sivia di kondisi apapun.

          Begitu Sivia membuka handle pintu, Sivia langsung terpingkal kaget begitu melihat pemuda itu -kakak osis yang dengan sengaja mengambil gambarnya- lagi berdiri tepat di depannya. Kayanya kakak osis itu mau keluar. Sivia bisa merasakan kalau dirinya sekarang lagi kaya orang aneh. Takut, cemas, dan perasaan lain menyergapnya sekarang. Tubuhnya juga gemetar nggak karuan. Dan, keringat dingin juga mulai Sivia rasakan. Duh, kaya ketemu setan aja sih. Entahlah.

          "Minggir!" hardik pemuda itu ketus. Sivia kemudian menggeser badannya dan mengijinkan pemuda itu untuk melewatinya.

          Sivia lagi-lagi melengos kesal kalau ketemu sama kakak osis itu. Siapa sih dia? Eh tunggu! Sekilas tadi Sivia ngelirik badge name yang tertera di seragamnya. Kalau nggak salah namanya itu, Kelvin, Kalvin, atau Alvin ya? Terus nama belakangnya Jonathan S. S-nya siapa? Aduh, itu cowok bikin penasaran aja sih. Sivia kemudian membatalkan niatnya untuk menenangkan diri di perpustakaan. Ia lalu keluar lagi dan berlari ke kelasnya. Oh ya, sekarang Sivia tau dia kelas berapa. X-2.

***

          "Shilla! Shilla!" Sivia menghampiri Shilla saat hampir mau keluar dari kelasnya. Kayanya dia mau nyari tanda tangan kakak osis. Terbukti tangannya menenteng buku dan bolpoin.

          "Ada apa?"

          "Boleh liat buku lo nggak? Yang isinya tanda tangan kakak-kakak osis,"

          Shilla menaikan bibirnya, "Buat apa?"

          Sivia menggaruk tengkuknya, "Em... Nggak buat apa-apa, cuma pengen liat aja udah dapet berapa," ucap Sivia mengada.

          "Oh. Nih," ucap Shilla sambil menyerahkan bukunya, "Gue baru dapet 18. Susah banget mintain tanda tangan sama kakak-kakak osis. Banyak banget yang pelit. Padahal mereka sendiri yang buat tugas begituan. Tapi begitu dimintain malah pura-pura nggak mau. Nyebelin banget deh. Malahan tuh kemarin-" ucap Shilla terus berceloteh. Sementara Sivia menyusuri daftar tanda tangan di buku Shilla satu-satu dengan telunjuknya.

          Dan, yap! Jari telunjuknya tepat berhenti di nomor 15. Rupanya, namanya Alvin toh. Di buku Shilla, tertera nama panjang 'Alvin Jonathan S'. Sivia jadi keheranan sendiri, S-nya itu siapa ya?

          "-udah gitu ya, si Angel itu pake acara ngebentak gue segala lagi. Gimana nggak kesel coba? Padahal gue kan nggak salah apa-apa. Tapi dia begitu. Emang dasar ya, kakak osis jaman sekarang tuh cuma bi-"

          "Shilla, lo tahu nggak nama panjang Kak Alvin?" tanya Sivia langsung memutus ucapan Shilla yang sedari tadi belum berhenti.

          Shilla diam, kemudian menarik bukunya yang masih berada di genggaman Sivia, matanya kemudian menelusuri nama 'Alvin' itu, sesaat dia diam beberapa detik. Kemudian berujar, "Alvin Jonathan S-"

          "S-nya siapa?" serobot Sivia penasaran.

          "Aduh, elo tuh main nyerobot aja sih. S-nya itu Sindunata. Emang kenapa?"

          "Oh? Nggak papa. Thanks ya, Shil. Gue duluan!" ucap Sivia kemudian berlari melewati Shilla.

***

          Alvin hari ini lagi duduk di tepian lapangan basket sama temen-temennya. Dia baru aja tanding basket sama kakak kelas. Dan hasilnya mereka unggul 2 point. Kalau habis pulang sekolah, kakak kelasnya yang dari kelas 12 emang suka nantangin adik-adik kelasnya buat tanding basket. Dulu, sebelum Alvin masuk dan jadi anggota Tim Basket, anak kelas 12 udah jelas bakal menang di setiap pertandingan ngelawan adik kelasnya. Tapi begitu Alvin masuk di Tim Basket SMA Kasuari ini, Tim Basket angkatannya pasti selalu menang kalau ngelawan anak kelas 12. Bisa jadi alasannya gitu, karena ada Alvin.

          Siang ini lagi panas banget, jadi Alvin masih ogah buat balik ke rumahnya. Dia dan teman-temannya lebih memilih buat istirahat sebentar sambil duduk di tepian lapangan yang dilindungi atap kecil.

          "Eh, lo tau Sivia nggak?" tanya Alvin entah pada siapa. Perhatiannya tertuju pada bola basket yang sedang ia pantul-pantulkan di tempat.

          "Sivia?" tanya Dayat yang duduk di samping Alvin.

          "Iya. Anak mos." jawab Alvin sambil terus memainkan bolanya.

          "Kayanya gue tahu deh," celetuk Cakka tiba-tiba.

          Alvin beralih ke Cakka, "Lo kenal?"

          "Kenal sih enggak. Tapi kan dia anak mos. Dan gue osis. Tentu aja gue tahu. Soalnya kemarin dia minta tanda tangan gitu ke gue," jawab Cakka lalu merebut bola yang di pegang Alvin.

          "Terus?"

          "Terus apanya? Ya udah cuma gitu." jawab Cakka sekenanya.

          "Lo naksir sama adik kelas?" tanya Rio sambil melempar 4 aqua gelas kepada Alvin, Dayat, Cakka, dan Gabriel.

          Hap! Alvin nangkep dengan sempurna, "Menurut lo, Sivia gimana?" tanya Alvin lagi kepada Cakka, tanpa menggubris pertanyaan Rio.

          "Gimana ya? Em, orangnya supel, kadang ceria, kadang cuek, ramah senyum, dan... Cantik." jawab Cakka sambil meneguk aqua-nya.

          "Eh? Sivia Azizah kan?" tanya Gabriel tiba-tiba.

          Alvin beralih ke Gabriel, yang duduk paling pinggir, "Iya, Gab!"

          "Waktu itu bukannya dia yang telat masuk ya? Terus yang waktu itu lo laporan ke gue soal anak itu?"

          "Jadi lo ngebina di kelasnya Sivia?" tanya Alvin tertarik.

          "Enggak. Waktu itu gue lagi keliling, pas gue lagi berhenti di kelasnya, tiba-tiba dia masuk terus dia bilang kalau dia telat gara-gara gelangnya hilang terus dia harus nyari dulu, terus karena dia nggak nemuin gelangnya akhirnya dia milih buat masuk ke kelasnya aja. Dan lucunya, dia nerangin itu semua sebelum gue atau siapapun anak osis yang ada di kelasnya nanya ke dia," terang Gabriel.

          "Dia bawa-bawa nama gue nggak? Atau nyebut-nyebut kakak osis gitu di lapangan?" tanya Alvin lagi.

          "Nggak." jawab Gabriel singkat.

          Alvin menghela nafas.

          "Kenapa sih?" tanya Cakka merasa heran pada temannya itu.

          "Nggak tahu. Tapi, Gab, menurut lo Sivia gimana?" tanya Alvin lagi pada Gabriel.

          "Orangnya kocak, lucu, ramah juga, suka ngejayus, anaknya cerewet, bawel, moody-an banget, kalau diledekin pasti ngambek, cantik juga," jawab Gabriel santai.

          "Kok lo bisa tau sebanyak itu?" tanya Alvin curiga.

          "Gue kan punya telepati."

          "Halah," Alvin menepis angin, "Tapi menurut gue, dia manis." ucap Alvin tiba-tiba.

          "Cieee yang lagi jatuh cinta pada pandangan pertama nih? Cieee," ledek Rio sambil memamerkan cengiran kudanya dan menaik-turunkan alis hitamnya.

          Sementara Alvin hanya tersenyum menanggapi celotehan Rio.

          "Tembak aja, Vin. Ntar keburu diambil orang loh!" ucap Gabriel sambil menepuk punggung Alvin. Dia kemudian melirik sekilas ke jam tangannya, "Eh, gue balik dulu ya."

          "Gue ikut," ucap Cakka.

          "Gue juga!" Rio ikut membenahi peralatannya.

          "Ya udah deh, pulang yuk semua! Vin, lo nggak mau pulang dulu?" tanya Dayat.

          "Duluan aja, gue mau ngembaliin bola ini dulu," jawab Alvin sambil menunjukan bola basket kepunyaan sekolah itu.

          "Oke deh, duluan bro!" ucap Gabriel menepuk bahu Alvin.

          "Yo!" balas Alvin sambil melambaikan tangannya.

***

          Alvin bergegas mempercepat langkahnya untuk meletakan bola basket yang di pegangnya sekarang ke Ruang Olahraga. Karena baru aja hujan rintik-rintik mengguyur kota ibukota ini. Sebelum hujannya bener-bener deras, Alvin paling nggak harus udah sampai di halte depan sekolahnya.

          Breezzz!!!

          Baru aja Alvin nutup pintu Ruang Olahraga setelah ia melempar bola basketnya sembarang, tiba-tiba hujan malah turun makin deras. Alvin lalu berlari menuju gerbang sekolahnya yang masih dibuka lebar-lebar. Nampak seorang pria paruh baya berseragam yang menyapanya dari dalam Pos, siapa lagi kalau bukan Pak Mamad, satpam paling ramah di seantero sekolah. Alvin hanya mengangguk dan tersenyum, tangannya terangkat ke atas untuk melindungi kepalanya dari guyuran hujan.

          "Hffftt," Alvin mendesah lega. Ia akhirnya sampai juga di halte depan sekolahnya. Kali ini seragam osis putih abu-abunya benar-benar basah. Langit siang ini memang tidak tanggung-tanggung menumpahkan tangisnya.

          Alvin lalu menengok ke sekelilingnya, nampak tiga orang yang juga turut duduk di sampingnya. Dua wanita paruh baya yang menenteng banyak kantong belanjaan, dan seorang remaja putri yang mengenakan seragam sama dengannya. Karena tidak ada objek lain yang lebih menyenangkan, Alvin mengalihkan perhatiannya. Memandang ke arah jalanan sepi yang di guyuri air hujan.

          "Eh," Alvin kemudian kembali memperhatikan gadis yang duduk di sebelah dua wanita paruh baya tadi, sepertinya ia mengenali siapa gadis itu. Tapi siapa ya?

          Hingga kemudian sebuah Mini Bus lewat dan berhenti tepat di depan halte. Alvin lalu mengalihkan perhatiannya kepada Bus tersebut. Shit! Ternyata bukan jurusannya, ucap Alvin dalam hati. Dua wanita paruh baya tadi mengangkat kantong belanjaannya yang sangat banyak dan menentengnya untuk memasuki ke Mini Bus tersebut.

          Halte kini sepi. Setelah ditinggal dua wanita tadi, kini hanya ada Alvin dan gadis itu.

          "Kak Alvin!"

          Alvin menoleh ke samping kirinya, mendapati seorang gadis yang tengah menatapnya sambil menelungkupkan tangannya di depan dada. Gadis itu kemudian menggeser duduknya hingga mendekat ke arah Alvin.

          "Elo kan-"

          "Aku Sivia kak! Yee, kakak masih ingat aku?" tanya Sivia, matanya berbinar-binar.

          "Nggak." jawab Alvin datar.

          "Mm," Sivia memainkan bibirnya, "Kakak kok belum pulang?"

          "Nunggu hujan reda."

          "Kan bel sekolah bunyi 2 jam yang lalu kak?"

          "Abis tanding basket."

          "Oh ya? Kakak bisa main basket? Wah, keren banget dong kak! Ajarin doooong," rengek Sivia sambil menggoyang-goyangkan lengan kakak kelasnya itu.

          Alvin melirik Sivia dengan mengerutkan keningnya, kemudian seolah-olah menghipnotis Sivia untuk melepaskan tangannya.

          Sivia berdecak sebal, ia lalu melepaskan genggaman tangannya. "Tanding sama siapa kak?" tanyanya lagi, masih belum puas rupanya dia bertanya-tanya.

          "Kakak kelas,"

          "Menang atau kalah?"

          "Menang,"

          "Wah kakak hebat!"

          "Hm,"

          Sivia kemudian bergeming, sepertinya dia kebingungan mencari topik obrolan lain yang lebih seru.

          "Aha!" Sivia menjentikkan jarinya, ia kemudian membuka resleting tasnya, mengeluarkan sebuah buku dan bolpoin berwarna biru muda.

          "Minta tanda tangan kak! Cuma kakak doang, osis yang belum aku mintain tanda tangan." ucap Sivia sambil menyodorkan buku dan bolpoinnya.

          Alvin meliriknya sekilas, kemudian mengalihkan perhatiannya ke depan lagi.

          "Kak," pinta Sivia lagi, "Besok kan mau dikumpulin kak, kalau nggak lengkap nanti aku dihukum gimana? Nanti aku dimarahin kakak osis gimana? Nanti aku di-"

          "Sini," ucap Alvin gemas sambil menarik buku dan bolpoin Sivia.

          Sivia kemudian menyangga dagunya dengan tangan, memperhatikan gerak-gerik tangan Alvin yang menari di atas bukunya.

          "Lo harus tau nama leng-"

          "Alvin Jonathan Sindunata, kan?" tanya Sivia memastikan.

          "Jaba-"

          "Wakil ketua, kan?"

          Alvin hanya mengangguk, dalam hatinya bangga juga bisa dikenal sama adik kelasnya itu. Tapi dasar Alvin, tengsin dong kalau harus ngaku? Ya minimal dia harus jaga kewibawaannya. Setelah menuliskan nama lengkapnya beserta jabatan, kemudian membubuhkan tanda tangannya, ia menyerahkan bukunya ke arah Sivia.

          "Yeeeay! Makasih kak Alvin, kakak baik deh. Syukur alhamdulillah, tugas nggak penting ini akhirnya terselesaikan juga, huwaaaah," ucap Sivia senang sambil memeluk bukunya.

          "Tugas apa lo bilang?" tanya Alvin sinis.

          "Eh," Sivia menutup mulutnya, sadar kalau pemuda disampingnya ini adalah anggota osis. "Nggak bilang apa-apa,"

          Alvin kemudian diam. Ia lalu melirik ke arah jam tangannya. Kemudian sesekali menghela nafas panjang.

          "Jam berapa kak?" tanya Sivia sambil melirik ke arah tangan kiri Alvin.

          "Tiga kurang seperempat,"

          "Oh,"

          "Kakak dingin ya? Ini aku pake jaket, kakak mau make?" tanya Sivia lagi sambil melepaskan jaketnya.

          "Eeeeh, nggak usah. Apaan sih kok malah jadi lo yang makein gue jaket. Seharusnya ya gue lah, gila lo." sungut Alvin sebal.

          Sivia tersenyum, "Ya udah. Kakak pakein aku jaket aja, aku kedinginan nih kak." ucap Sivia sambil memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya, berpura-pura kedinginan.

          "Gue nggak bawa jaket,"

          "Ya udah pake jaket aku aja, nih!" Sivia menyerahkan jaketnya yang sudah terlepas.

          "Pake aja sendiri. Nggak bisa make?" tanya Alvin sambil melirik malas ke arah Sivia.

          Lagi-lagi Sivia mendecakan lidahnya, "Nggak gentle banget sih. Biasanya tuh kalau di sinetron-sinetron gitu, ngeliat ceweknya kedinginan, pasti cowoknya langsung bertindak, biasanya sih makein jaket yang dipakenya, kalau nggak make jaket, ya buat api unggun, kalau nggak ada api sama ranting, ya... Dipeluk," celoteh Sivia panjang lebar sambil melirik ke arah Alvin, yang dilirik hanya diam tanpa merespons.

          "Huh, dasar orang dingin, sedingin samudera antlatik," cibir Sivia kesal.

          "Apa lo bi-"

          "Nggak." sambar Sivia cepat sebelum Alvin menyelesaikan ucapannya.

          Tiba-tiba saja sebuah BMW hitam berhenti tepat di depan mereka. Kaca penumpang kemudian terbuka, menampilkan sosok lelaki yang mengenakan kacamata hitam, tubuhnya dibalut kemeja putih dengan lengan yang ditekuk hingga sikunya, rambut pemuda itu juga agak di jabrik-an ke atas. Tampang sengak, pikir Alvin dalam hati.

          Sivia kemudian tersenyum ketika pemuda itu juga tersenyum ke arahnya. Sivia lalu mendekat ke arah pemuda tersebut, "Kak Alvin, aku pulang ya, daaah!" teriak Sivia kepada Alvin, kemudian ia masuk ke dalam mobil tersebut.

          Setelah membunyikan klaksound tanda pamit kepada Alvin, mobil itu kemudian mulai berjalan menyusuri jalanan aspal yang masih diguyur hujan.

          Alvin sedikit kecewa begitu Sivia pulang, apalagi ketika melihat pemuda itu. Siapa sih pemuda itu? Tampangnya sok oke banget. Padahal Alvin masih ingin berbincang dengan gadis itu. Keceriaan gadis itu mampu menghapus rasa lelah Alvin setelah bertanding basket tadi. Menyenangkan sekali.

          "Eh, apaan sih. Ngapain jadi mikirin dia? Idih," Alvin bermonolog ria sambil menepis-nepis bayang-bayang tentang Sivia.

***

          "Dengan ini, saya menyatakan bahwa Kegiatan MOS periode 2011/2012 di tutup!" ucap Gabriel mengakhiri pidatonya sambil menepuk-nepuk michrophone sebanyak 3x, sebagai tanda bahwa kegiatan mos telah ditutup.

          Para peserta MOS tampak senang. Mereka bertepuk ria, melampiaskan kegembiraannya. Perjuangan untuk menjadi 'orang gila' dengan belasan kuciran rambut, tali sepatu rafia, kaus kaki beda warna, gelang rumbai-rumbai, kalung dari tanaman obat, dan topi dari panci kecil selama tiga hari akhirnya selesai juga.

          Setelah mendapat aba-aba bahwa upacara telah dibubarkan. Semua para peserta mos -lebih tepatnya mantan peserta mos- melepas atribut-atribut yang menempel di tubuhnya. Kini status mereka bukan lagi para pesera mos, melainkan siswa resmi di SMA Kasuari.

          Begitu juga dengan Sivia, dia memeluk erat tubuh Shilla, sebagai bentuk kebahagiannya. Mereka berdua kemudian berloncat-loncat ria sambil melemparkan atribut-atribut mereka ke sembarang arah. Bahkan topi yang berasal dari panci-pun ikut terbuang, mengakibatkan suara gemerincing panci yang dijatuhkan sengaja. Tapi mereka tidak peduli. Senang sekali rasanya, sebentar lagi mereka akan menikmati masa Putih Abu-Abu.

          "Ehm, Sivia..." Shilla menghentikan aksi loncat-meloncatnya.

          "Kenapa?" tanya Sivia tidak mengerti.

          "Itu," Shilla menunjuk ke arah belakang Sivia dengan dagunya.

          "Apa?" tanya Sivia masih bingung.

          Shilla lagi-lagi menunjuk ke arah belakang Sivia dengan dagunya, Sivia kemudian membalikan tubuhnya ke belakang, seketika itu juga dia tersenyum senang mendapati sosok itu berdiri di depannya.

          "Kak Alviiin," tanpa di komando lagi, Sivia segera memeluk Alvin, refleks.

          Alvin yang kaget hanya diam tanpa ingin menanggapi pelukan Sivia. Nyaman juga, pikir Alvin dalam hati.

          "Eh," Sivia yang sadar kemudian melepaskan pelukannya dari Alvin, kemudian menatap sepatu hitamnya, malu sekali rasanya. Siapa dia, siapa kak Alvin? Asal main peluk aja.

          Sivia kemudian menoleh ke arah belakang, rupanya Shilla sudah tidak ada disana. Tapi kemudian Sivia menangkap sosok tubuh Shilla yang sedang bergurau dengan... Siapa itu? Astaga, itu kan kak Cakka? Sivia semakin memicingkan matanya, membuat mata sipitnya semakin sipit. Ngapain mereka berdua? Pikir Sivia.

          "Mereka udah jadian," ucap Alvin, rupanya dia memahami arah pikiran Sivia.

          "Hah?" Sivia melongo dibuatnya, "Sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang sih?"

          "Ngapain musti bilang ke elo? Emang penting?" tanya Alvin santai.

          "Ya penting lah. Shilla kan sahabat aku juga," jawab Sivia sebal.

          "Banyak kali, anak osis yang nembak anak mos," ucap Alvin santai -lagi-.

          "Oh ya? Siapa aja?"

          "Shilla sama Cakka. Si Rio sama Ify. Si Dayat sama Agni. Banyak deh,"

          "Ya ampuuun! So sweet banget sih," ucap Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya.

          "Eh, gue boleh nanya nggak?" Alvin menyiku tangan di dadanya.

          Sivia hanya mengangguk.

          "Kemarin lo di jemput sama siapa?" tanya Alvin agak kikuk.

          Sivia diam sebentar. Kemudian menatap Alvin aneh, "Ngapain lo nanya-nanya gituan? Suka-suka gue dong mau di jemput sama siapa aja."

          "Gue nanya. Ngapain lo balik nanya?"

          Sivia mendecakan lidah, "Kak Gabriel."

          "HAH?" Alvin melongo mendengar jawaban Sivia. Siapa? Gabriel? Dia...?

          "Iya. Kenapa?" Sivia balik bertanya sambil menatap Alvin heran.

          "Nggak," balas Alvin cepat. "PJ lo! Jadian nggak bilang-bilang," ucap Alvin mencoba menghibur dirinya.

          "PJ? Apaan? Jadian sama siapa?" tanya Sivia makin heran.

          "Sama Gabriel," ucap Alvin sinis.

          "Hah?" Sivia menatap Alvin dengan heran. Sepersekian detik kemudian, Sivia tertawa.

          "Ngapain lo ketawa?" sungut Alvin.

          "Sivia!" Sivia dan Alvin serentak menoleh ke arah Gabriel yang berjalan menghampiri mereka. Sial, sial, sial. Rutuk Alvin dalam hati. Ngapain Gabriel kesini? Pasti mau mesra-mesraan deh. Sial banget. Seharusnya gue nggak disini. Alvin terus memaki dalam hati.

          "Apa kak?" tanya Sivia beralih ke Gabriel.

          "Nanti bilangin Mama, kakak pulang jam 5. Ada tanding sama klub basket lain," jawab Gabriel.

          "Bilang sendiri aja nggak bisa?" tanya Sivia lagi.

          "Bukannya nggak bisa. Pulsa gue abis. Udah deh, tinggal bilang aja apa susahnya sih." cibir Gabriel.

          Alvin yang mendengar sekaligus melihat perbincangan dua orang di hadapannya itu hanya melongo tidak mengerti. Mama? Maksudnya?

          "Eh, elo bro!" Gabriel beralih ke Alvin. Baru tau kalau sohibnya ada di depannya bersama Sivia.

          Alvin hanya tersenyum masam menanggapi Gabriel.

          "Lagi proses pedekate ya? Gue bilangin buruan. Sebelum adik gue ini digebet sama cowo lain!" ucap Gabriel santai sambil sesekali melirik ke arah Sivia.

          "Adik?" tanya Alvin heran.

          "Iya! Sivia ini! Adik gue! Oh... Astaga, gue lupa belum ngenalin lo ya. Siv, ini Alvin, sohib gue," ucap Gabriel pada Sivia, "Nah, Vin, ini Sivia, adik gue!" Gabriel beralih ke Alvin.

          "Oh, lo berdua, kakak...adik?" tanya Alvin lagi, kali ini ingin memastikan pendengarannya tidak salah.

          "Iyaaa!"

          Alvin mendesah lega. Entah. Senang sekali rasanya mendengar pernyataan Gabriel.

          "Pantesan aja pas gue tanya soal dia lo bisa jawab serinci itu. Rupanya lo kakaknya? Heh," ucap Alvin tanpa sadar.

          "Tanya soal gue? Tanya apaan?" Sivia memekik penasaran.

          "Ha? Engg-" Alvin jadi bingung ditanya sama Sivia begitu.

          "Tanya apaan?!" paksa Sivia lagi.

          "Nggak." sembur Alvin langsung.

          "Btw, lo berdua kemarin pacaran ya di Halte? Wah jadian nggak bilang-bilang lo!" ucap Gabriel sambil menoyor kepala Alvin.

          "Siapa juga yang jadian? Emang kakak sama kak Pricill pacaran di loteng sekolah?" cibir Sivia.

          "Wah kurangajar lo. Eh, Vin, gue balik ya. Nitip adik gue nih. Hati-hati dia suka kambuh penyakitnya. Penyakit gila." ucap Gabriel sambil menepuk-nepuk puncak kepala Sivia.

          "Iiih, lo yang gila," cibir Sivia lagi sambil menepis tangan kakaknya.

          "Udahan ya. Daaah!" Gabriel kemudian berlalu dari Sivia dan Alvin.

          "Siv," Sivia menoleh ke arah Alvin yang sedang menatapnya lurus-lurus.

          Sivia hanya mengangkat alisnya.

          "Lo nggak mau kaya temen-temen lo?" tanya Alvin masih menatap Sivia.

          "Emang temen-temen gue kenapa?" Sivia balik bertanya.

          "Ya, kaya Shilla, kaya Ify, yang ditembak sama kakak osisnya," jawab Alvin santai.

          Sivia memutar bola matanya, "Kepengen sih. Tapi sama siapa ya?"

          "Kalau sama gue?"
 DEG!

          Sivia hanya menatap Alvin dengan tampang seolah-olah tak percaya. 'Kalau sama gue?' apa Alvin akan menembak dirinya? Aaaa, yang benar saja? Aduh, maksudnya apa?

          Alvin masih menatap Sivia lurus-lurus. Kali ini terukir jelas di bibirnya yang membentuk senyuman tipis. Dan... Oh! Demi Tuhan! Senyuman itu! Manis sekali. Alvin terlihat lebih tampan!

          "Gue suka sama lo,"

          4 kata yang terlontar dari mulut Alvin benar-benar membuat Sivia terhipnotis. Dia mematung di tempat. Seolah-olah bumi juga ikut berhenti berputar. Kata-kata Alvin barusan sukses membuat otaknya sulit berfikir jernih. Sulit bernafas. Dan sulit berbicara.

          "Gue juga," ucap Sivia tanpa sadar. "Eh!" dengan segera Sivia membekap mulutnya sendiri. Sadar atas apa yang baru saja dia katakan sangat memalukan. Apa ini? Kenapa dia berkata seperti itu? Apa dia benar-benar menyukai pemuda itu?

          Alvin kemudian menghembuskan nafas lega. Senang mendengar pernyataan yang baru saja keluar dari mulut manis Sivia. Alvin kemudian meraih kedua tangan Sivia, lalu menggenggamnya erat, seolah-olah dia tidak ingin melihat Sivia pergi darinya. Alvin lalu perlahan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Sivia. Nampak sangat jelas, semburat merah merona yang terhias di pipi Sivia. Alvin kemudian merogoh saku celananya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih menggenggam erat tangan Sivia. Ia lalu mengeluarkan sebuah gelang, gelang rumbai-rumbai yang terbuat dari tali rafia, gelang yang menjadi atribut mos, dan gelang milik Sivia yang hilang. Alvin lalu menaruh benda itu di telapak tangan Sivia.

          "Kok gelangnya ada di lo sih kak?" tanya Sivia kaget sambil mengangkat gelangnya.

          Tiba-tiba saja, Alvin mendaratkan kecupannya di pipi kiri Sivia. Setelahnya, laki-laki itu segera bergegas kabur sebelum mendengar semburan Sivia.

          "KAK ALVIIIIIIIIIIIINNNN!!!"
THE END



No comments: